APAKAH UNDANG-UNDANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL DAPAT TERUS DILAKSANAKAN? SEBUAH ANALISIS SEJARAH DAN BUDAYA

https://doi.org/10.22146/jmpk.v12i03.2543

Laksono Trisnantoro(1*)

(1) 
(*) Corresponding Author

Abstract


Di penghujung tahun 2009 ini, usia Undang –
Undang (UU) Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) telah lima tahun (UU No. 40/2004).
Selama lima tahun, praktis UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) tidak berjalan. Salah satu
penyebabnya adalah bahwa UU SJSN ini
membutuhkan UU lain yaitu UU Badan Pengelola
Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak kunjung selesai.
Pernyataan menarik adalah bahwa UU SJSN ini terlihat
tidak efektif untuk merubah masyarakat dan tentunya
pertanyaannya mengapa gagal? Salah satu
penjelasan adalah bahwa UU SJSN tidak
memperhatikan sejarah masyarakat yang akan diatur
oleh UU. Sebuah UU dapat gagal karena tidak berhasil
merubah tata kehidupan masyarakat. Artinya tata
kehidupan yang sudah berlangsung lama sejarahnya
tidak bisa diubah. Masyarakat secara sengaja atau
tidak sengaja menolak pelaksanaan UU.
Diskusi mengenai kebijakan dan history
merupakan hal menarik untuk diperdebatkan. Sebuah
kebijakan (misal UU) dapat bersifat ahistorik jika tidak
mempertimbangkan atau melihat sejarah. Namun
perlu dicatat bahwa kebijakan memang dapat
bertujuan membalikkan sejarah atau merubah sebuah
tradisi. Lee Kuan Yew dengan kebijakan keras
berpuluh tahun mampu merubah perilaku kebersihan
penduduk Singapura. Jadilah sekarang situasi
Singapura yang lebih bersih dibanding London
(sebagai benchmark Lee Kuan Yew). Situasi ini
berbeda dengan kebiasaan hidup tidak bersih dalam
sejarah masyarakat perantauan Chinese. Kebijakan
Singapura bersih tersebut berhasil membalikkan
peninggalan sejarah. Kebijakan Singapura memang
sangat keras karena melihat budaya kebersihan
dalam sejarah Singapura yang tidak baik. Jadi kalau
sebuah kebijakan tidak memperhatikan sejarah/tradisi
budaya, maka kebijakan ini mempunyai risiko tidak
berjalan. Hanya di atas kertas.
Undang-Undang (UU) SJSN merupakan hal
sangat berat karena harus mampu merubah berbagai
hal termasuk perubahan budaya masyarakat, dokter,
tenaga kesehatan lainnya, pimpinan dan staf
perusahaan asuransi kesehatan, pejabat dinas
kesehatan, sampai ke pejabat. Undang-Undang (UU)
SJSN bukan hanya merubah prosedur, tapi budaya
yang sudah menjadi tradisi, menjadi bagian dari
sejarah panjang sektor kesehatan Indonesia. Tradisi
dokter mendapat fee for service tidak hanya 10
tahunan. Sudah lama sekali.
Sejarah sangat penting untuk menjadi
pertimbangan kebijakan. Pada tahun 1948,
pemerintah Inggris dari Partai Buruh secara keras
menasionalisasi semua pelayanan kesehatan agar
terjadi pemerataan. Hal ini tidak terjadi di Amerika
Serikat. Dengan menasionalisasi RS swasta,
pemerintah Inggris dapat melakukan intervensi
dengan kuat. Patut dicatat bahwa sekitar tahun 1948
medico industrial compleks belum sekuat sekarang.
Dalam konteks perubahan di Inggris, kebijakan
menasionalisasi menjadi NHS dilakukan oleh PM
Partai Buruh saat itu, dalam suasana rekonstruksi
Inggris pasca Perang Dunia II. Kebijakan ini
menasionalisasi pelayanan kesehatan swasta,
kemanusiaan (termasuk keagamaan), pemerintah
lokal diinisiasi oleh kantor PM Inggris yang cenderung
lebih ke kiri (sosialis) yaitu Partai Buruh.
Kebijakan ini sangat memperhatikan tradisi
dalam sejarah, termasuk tradisi pendapatan tinggi
dokter yang sangat kuat. Para pengambil kebijakan
paham bahwa para dokter pasti menentang. Oleh
karena itu, Aneurin Bevan (Menteri Kesehatan Inggris
saat itu) menyatakan: “I stuffed their mouths with
gold”. Agar tidak ditentang dokter, kebijakan ini
sangat memperhatikan pendapatan para dokter
sehingga mau berubah.
Dari gambaran ini, kita dapat melihat betapa
rapuhnya UU SJSN. Terbukti selama lima tahun tidak
berjalan. Kerapuhan timbul dari berbagai sudut.
Pertama dari saat disahkannya. Undang-Undang
(UU) SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hari
akhir periode kepresidenan. Undang-Undang (UU)
semacam ini sering disebut sebagai “Midnight Laws”.
Dapat dipahami bahwa periode kepresidenen
berikutnya tidak merasa memiliki (ownership) UU
SJSN. Sangat berbeda dengan NHS di Inggris yang
disiapkan bertahun-tahun sebelumnya sebagai
agenda Partai Buruh. Oleh karena itu, UU SJSN perlu
diamandemen dengan salah satu tujuan adalah
meningkatkan kepemilikan dan dukungan politis dari
pemerintah yang berkuasa.
Kerapuhan kedua, UU SJSN tidak bicara
banyak mengenai tradisi di sektor kesehatan,
termasuk peran para dokter yang sangat powerfull.
Masalah apakah para dokter akan kekurangan
income apabila menjalankan UU SJSN tidak dibahas.
Kenyataan memang sudah terjadi. Model UU SJSN
memberikan insentif rendah dibanding OOP. Undang-
Undang (UU) SJSN tidak bicara banyak mengenai
bagaimana meratakan pelayanan kesehatan ke
berbagai tempat, UU SJSN tidak bicara banyak
mengenai tradisi masyarakat Indonesia yang tidak
kenal risiko dan lain-lain. Banyak sekali hal
operasional tidak dibahas.
Kerapuhan ketiga, UU SJSN mencakup
kesehatan dan berbagai aspek welfare dalam
hubungan pengusaha dengan buruh. Aspek ini sangat
politis. Berbagai kepentingan dan ideologi yang
saling bertentangan dapat terjadi. Hal ini dapat dilihat
dari kecurigaan para industrialis terhadap UU SJSN
ini yang dianggap mengurangi daya kompetisi produk
Indonesia. Undang-Undang (UU) SJSN menjadi
sangat rapuh pada perdebatan ideologis. Akibatnya
masalah teknis yang banyak terdapat disektor
kesehatan menjadi terabaikan. Komponen
kesehatan bisa menjadi tidak terurus secara baik
dalam UU SJSN.
Oleh karena itu, diusulkan agar UU SJSN
diamandemen dan kalau bisa dipisahkan sendiri.
Dari titik ini kemudian disusun UU Asuransi
Kesehatan dan atau UU Jaminan Kesehatan
Nasional. Mengingat beratnya masalah yang sampai
mencakup tata kehidupan dan sejarah yang sudah
panjang, diharapkan jangan diletakkan bersamasama
dengan jaminan sosial lainnya (Laksono
Trisnantoro, trisnantoro@yahoo.com).




DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v12i03.2543

Article Metrics

Abstract views : 1104 | views : 2012

Refbacks

  • There are currently no refbacks.