SINERGI KEBIJAKAN UPAYA PENGHEMATAN ANGGARAN BELANJA JAMINAN KESEHATAN DI PERANCIS
Shita Listya Dewi(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Menjelang diberlakukannya Jaminan Kesehatan
Semesta 2014, Indonesia menghadapi berbagai tantangan
terkait kesiapannya. Walaupun prioritas pemerintah
saat ini adalah pada perluasan cakupan/
kepesertaan, berbagai isu terkait selayaknya tetap
menjadi perhatian kita. Isu seperti 1) seberapa dalam
manfaat pelayanan kesehatan yang akan dijamin,
2) seberapa besar proporsi urun biaya yang masih
harus dikeluarkan oleh peserta jaminan kesehatan
ketika mendapatkan manfaat, 3) bagaimana kesiapan
kuantitas dan kualitas sistem pelayanan kesehatan,
fasilitas dan SDM kesehatan serta pemerataan
distribusinya di berbagai daerah, 4) bagaimana
kebijakan dan regulasi diperkuat untuk mendukung
sistem jaminan kesehatan semesta, 5) bagaimana
evaluasi dan monitoring dilakukan, 6) bagaimana
mengajak sektor swasta untuk berperan serta, dan
banyak hal lain masih tetap perlu dikaji dan dicermati.
Bahkan di negara lain dimana sistem jaminan
kesehatan semesta telah dijalankan, isu-isu seperti
di atas tetap menjadi perhatian dan terus menerus
diawasi. Pada beberapa editorial yang lalu telah dibahas
bagaimana sistem jaminan kesehatan semesta
dijalankan di Perancis. Menjelang akhir tahun, pemerintah
mengevaluasi berbagai dimensi pelaksanaan
jaminan kesehatan semestanya misalnya kualitas
pelayanan, distribusi SDM, besarnya anggaran, dll
serta proposal yang diajukan untuk upaya perbaikannya.
Bulan September lalu, pengelola jaminan kesehatan
semesta di Perancis mengajukan laporan tahunan
termasuk proposal upaya penghematan senilai
2,48 milyar euro untuk menekan pertumbuhan anggaran
belanja jaminan kesehatan dikisaran 2,4%
(pertumbuhan anggaran pada tahun 2012 adalah
2,5% sementara pada tahun 2013 adalah 2,7%). Situasi
perekonomian Eropa telah menekan berbagai
negara termasuk Perancis untuk melakukan penghematan
anggaran belanja, sehingga wacana penghematan
anggaran belanja kesehatan merupakan isu
yang cukup disorot.
Anggaran belanja kesehatan di Perancis adalah
sekitar 12% dari GDP, dan beberapa tahun terakhir
mengalami defisit lebih besar dari yang diproyeksikan.
Pada awal tahun 2013, misalnya, defisit diperkirakan
sebesar 11,4 juta euro, tetapi laporan tahunan
2013 menyatakan bahwa riil defisitnya adalah 14,7
juta euro. Hal ini juga disebabkan oleh tekanan situasi
ekonomi yang membuat sekelompok peserta jaminan
yang tadinya termasuk di dalam peserta dengan
urun biaya berubah menjadi peserta tanpa urun biaya
(ditanggung penuh pemerintah) karena kehilangan
pekerjaan. Diperkirakan jumlah peserta tanpa urun
biaya ini akan lebih besar pada tahun-tahun mendatang
selama krisis ekonomi di Eropa belum berakhir.
Oleh karena itu, pemerintah sangat berkepentingan
untuk memastikan kecukupan anggaran untuk menyediakan
pelayanan bagi mereka.
Proposal penghematan yang diajukan mencakup
kebijakan harga untuk berbagai obat (diharapkan
akan menghasilkan penghematan senilai 750juta
euro), serta kebijakan yang membatasi dokter dalam
meresepkan obat mahal/branded dan menggantinya
dengan obat generik (diharapkan akan menghasilkan
penghematan senilai 600juta euro), dan kebijakan
yang membatasi transportasi untuk rujukan yang
tidak perlu, dan kebijakan yang mendorong perluasan
one-day surgery untuk menghindari biaya rawat
inap. Salah satu target dari kebijakan one-day surgery
ini adalah operasi katarak yang merupakan salah
satu operasi yang paling sering dilakukan di
Perancis (sekitar 700,000 di tahun 2012) yang sebelumnya
tidak dilakukan sebagai one-day surgery.
Penghematan juga akan dilakukan dalam bentuk
strategic purchasing untuk peralatan kesehatan
misalnya insulin pumps, prostheses, respirators, dll.
Diharapkan dengan kebijakan strategic purchasing
ini penghematan yang dihasilkan adalah senilai 220
juta euro (untuk level rumah sakit) dan 150juta euro
(untuk level klinik/fasilitas kesehatan primer). Yang
menarik adalah bagaimana proposal ini didukung
oleh berbagai kebijakan yang mengikutinya. Dokter,
misalnya, diharuskan untuk menulis setidaknya 25%
bagian dari resepnya berupa formula kimia dari molekul
aktif obat, dan bukan brand name-nya. Hal ini
dilakukan untuk mendongkrak penjualan obat generik
di Perancis yang saat ini masih berkisar 14%
(dalam nilai uang) atau 26% (dalam kuantitas) pada
tahun 2012 lalu. Sebagai perbandingan, share penjualan
obat generik di Jerman atau Inggris adalah
sekitar 50%.
Kebijakan lain yang juga terkait adalah
kebijakan redistribusi ketersediaan tenaga medis,
seperti yang telah dibahas pula pada editorial lalu.
Hasilnya ternyata cukup menggembirakan. Secara
keseluruhan, jumlah dokter bertambah 0.9 % namun
secara riil jumlah dokter di beberapa tempat yang
telah padat berkurang (misalnya di region Center
berkurang 2.3 %, dan di region Ile- de- France berkurang
4.2%) dan sebaliknya meningkat di daerah yang
sebelumnya kekurangan (misalnya di region Paysde-
Loire meningkat 4.7% dan di region Rhône –
Alpes meningkat 4.5%). Ketersediaan tenaga medis
di daerah-daerah yang kekurangan diharapkan dapat
mengurangi unnecessary referral antar-region dan
mengurangi biaya transpor rujukan.
Selain kebijakan yang mendukung, proses
evaluasi yang dilakukan terhadap fasilitas kesehatan
(klinik dan rumah sakit) di Perancis baik fasilitas
pemerintah maupun swasta juga mencerminkan
dukungan terhadap upaya penghematan anggaran
kesehatan seperti yang diusulkan. Dari beragam
komponen penilaian dan evaluasi tersebut misalnya
juga dimasukkan variabel rendahnya LOS di rumah
sakit dan seberapa banyak ambulatory care dilakukan.
Hasil dan ranking penilaian untuk seluruh rumah
sakit ini, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta,
diumumkan setiap tahun sehingga masyarakat
dapat secara terbuka melihat ranking dari rumah
sakit di daerahnya. Dengan demikian rumah sakit
dan klinik dipacu untuk mengembangkan layanan
one-day surgery yang lebih cost-effective dan
mengurangi LOS.
Dari cerita singkat di atas dapat ditarik pelajaran
bahwa pemerintah Indonesia pun perlu melihat
sistem kesehatannya secara utuh dan mencari
sinergi antar kebijakan agar saling mendukung. Hal
ini khususnya menjadi semakin penting di era
jaminan kesehatan semesta. Apabila sinergi antar
kebijakan ini belum terjadi maka perlu dicari solusi
atau alternatif kebijakannya. Apabila telah ada
kebijakan yang digulirkan, maka perlu pula dikaji
sejauh mana efektifitas pelaksanaannya di lapangan.
Di sinilah letak pentingnya kajian kebijakan dan
evaluasi kebijakan dalam memainkan peran sebagai
‘feeder’ terhadap komunitas kebijakan khususnya
pengambil kebijakan. Selaras dengan itu, berbagai
artikel dalam JKKI kali ini akan berupaya menyoroti
berbagai implementasi kebijakan dan memberikan
rekomendasi perbaikan. Selamat membaca.
Semesta 2014, Indonesia menghadapi berbagai tantangan
terkait kesiapannya. Walaupun prioritas pemerintah
saat ini adalah pada perluasan cakupan/
kepesertaan, berbagai isu terkait selayaknya tetap
menjadi perhatian kita. Isu seperti 1) seberapa dalam
manfaat pelayanan kesehatan yang akan dijamin,
2) seberapa besar proporsi urun biaya yang masih
harus dikeluarkan oleh peserta jaminan kesehatan
ketika mendapatkan manfaat, 3) bagaimana kesiapan
kuantitas dan kualitas sistem pelayanan kesehatan,
fasilitas dan SDM kesehatan serta pemerataan
distribusinya di berbagai daerah, 4) bagaimana
kebijakan dan regulasi diperkuat untuk mendukung
sistem jaminan kesehatan semesta, 5) bagaimana
evaluasi dan monitoring dilakukan, 6) bagaimana
mengajak sektor swasta untuk berperan serta, dan
banyak hal lain masih tetap perlu dikaji dan dicermati.
Bahkan di negara lain dimana sistem jaminan
kesehatan semesta telah dijalankan, isu-isu seperti
di atas tetap menjadi perhatian dan terus menerus
diawasi. Pada beberapa editorial yang lalu telah dibahas
bagaimana sistem jaminan kesehatan semesta
dijalankan di Perancis. Menjelang akhir tahun, pemerintah
mengevaluasi berbagai dimensi pelaksanaan
jaminan kesehatan semestanya misalnya kualitas
pelayanan, distribusi SDM, besarnya anggaran, dll
serta proposal yang diajukan untuk upaya perbaikannya.
Bulan September lalu, pengelola jaminan kesehatan
semesta di Perancis mengajukan laporan tahunan
termasuk proposal upaya penghematan senilai
2,48 milyar euro untuk menekan pertumbuhan anggaran
belanja jaminan kesehatan dikisaran 2,4%
(pertumbuhan anggaran pada tahun 2012 adalah
2,5% sementara pada tahun 2013 adalah 2,7%). Situasi
perekonomian Eropa telah menekan berbagai
negara termasuk Perancis untuk melakukan penghematan
anggaran belanja, sehingga wacana penghematan
anggaran belanja kesehatan merupakan isu
yang cukup disorot.
Anggaran belanja kesehatan di Perancis adalah
sekitar 12% dari GDP, dan beberapa tahun terakhir
mengalami defisit lebih besar dari yang diproyeksikan.
Pada awal tahun 2013, misalnya, defisit diperkirakan
sebesar 11,4 juta euro, tetapi laporan tahunan
2013 menyatakan bahwa riil defisitnya adalah 14,7
juta euro. Hal ini juga disebabkan oleh tekanan situasi
ekonomi yang membuat sekelompok peserta jaminan
yang tadinya termasuk di dalam peserta dengan
urun biaya berubah menjadi peserta tanpa urun biaya
(ditanggung penuh pemerintah) karena kehilangan
pekerjaan. Diperkirakan jumlah peserta tanpa urun
biaya ini akan lebih besar pada tahun-tahun mendatang
selama krisis ekonomi di Eropa belum berakhir.
Oleh karena itu, pemerintah sangat berkepentingan
untuk memastikan kecukupan anggaran untuk menyediakan
pelayanan bagi mereka.
Proposal penghematan yang diajukan mencakup
kebijakan harga untuk berbagai obat (diharapkan
akan menghasilkan penghematan senilai 750juta
euro), serta kebijakan yang membatasi dokter dalam
meresepkan obat mahal/branded dan menggantinya
dengan obat generik (diharapkan akan menghasilkan
penghematan senilai 600juta euro), dan kebijakan
yang membatasi transportasi untuk rujukan yang
tidak perlu, dan kebijakan yang mendorong perluasan
one-day surgery untuk menghindari biaya rawat
inap. Salah satu target dari kebijakan one-day surgery
ini adalah operasi katarak yang merupakan salah
satu operasi yang paling sering dilakukan di
Perancis (sekitar 700,000 di tahun 2012) yang sebelumnya
tidak dilakukan sebagai one-day surgery.
Penghematan juga akan dilakukan dalam bentuk
strategic purchasing untuk peralatan kesehatan
misalnya insulin pumps, prostheses, respirators, dll.
Diharapkan dengan kebijakan strategic purchasing
ini penghematan yang dihasilkan adalah senilai 220
juta euro (untuk level rumah sakit) dan 150juta euro
(untuk level klinik/fasilitas kesehatan primer). Yang
menarik adalah bagaimana proposal ini didukung
oleh berbagai kebijakan yang mengikutinya. Dokter,
misalnya, diharuskan untuk menulis setidaknya 25%
bagian dari resepnya berupa formula kimia dari molekul
aktif obat, dan bukan brand name-nya. Hal ini
dilakukan untuk mendongkrak penjualan obat generik
di Perancis yang saat ini masih berkisar 14%
(dalam nilai uang) atau 26% (dalam kuantitas) pada
tahun 2012 lalu. Sebagai perbandingan, share penjualan
obat generik di Jerman atau Inggris adalah
sekitar 50%.
Kebijakan lain yang juga terkait adalah
kebijakan redistribusi ketersediaan tenaga medis,
seperti yang telah dibahas pula pada editorial lalu.
Hasilnya ternyata cukup menggembirakan. Secara
keseluruhan, jumlah dokter bertambah 0.9 % namun
secara riil jumlah dokter di beberapa tempat yang
telah padat berkurang (misalnya di region Center
berkurang 2.3 %, dan di region Ile- de- France berkurang
4.2%) dan sebaliknya meningkat di daerah yang
sebelumnya kekurangan (misalnya di region Paysde-
Loire meningkat 4.7% dan di region Rhône –
Alpes meningkat 4.5%). Ketersediaan tenaga medis
di daerah-daerah yang kekurangan diharapkan dapat
mengurangi unnecessary referral antar-region dan
mengurangi biaya transpor rujukan.
Selain kebijakan yang mendukung, proses
evaluasi yang dilakukan terhadap fasilitas kesehatan
(klinik dan rumah sakit) di Perancis baik fasilitas
pemerintah maupun swasta juga mencerminkan
dukungan terhadap upaya penghematan anggaran
kesehatan seperti yang diusulkan. Dari beragam
komponen penilaian dan evaluasi tersebut misalnya
juga dimasukkan variabel rendahnya LOS di rumah
sakit dan seberapa banyak ambulatory care dilakukan.
Hasil dan ranking penilaian untuk seluruh rumah
sakit ini, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta,
diumumkan setiap tahun sehingga masyarakat
dapat secara terbuka melihat ranking dari rumah
sakit di daerahnya. Dengan demikian rumah sakit
dan klinik dipacu untuk mengembangkan layanan
one-day surgery yang lebih cost-effective dan
mengurangi LOS.
Dari cerita singkat di atas dapat ditarik pelajaran
bahwa pemerintah Indonesia pun perlu melihat
sistem kesehatannya secara utuh dan mencari
sinergi antar kebijakan agar saling mendukung. Hal
ini khususnya menjadi semakin penting di era
jaminan kesehatan semesta. Apabila sinergi antar
kebijakan ini belum terjadi maka perlu dicari solusi
atau alternatif kebijakannya. Apabila telah ada
kebijakan yang digulirkan, maka perlu pula dikaji
sejauh mana efektifitas pelaksanaannya di lapangan.
Di sinilah letak pentingnya kajian kebijakan dan
evaluasi kebijakan dalam memainkan peran sebagai
‘feeder’ terhadap komunitas kebijakan khususnya
pengambil kebijakan. Selaras dengan itu, berbagai
artikel dalam JKKI kali ini akan berupaya menyoroti
berbagai implementasi kebijakan dan memberikan
rekomendasi perbaikan. Selamat membaca.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jkki.v2i4.3199
Article Metrics
Abstract views : 2350 | views : 2341Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c)
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI [ISSN 2089 2624 (print); ISSN 2620 4703 (online)] is published by Center for Health Policy and Management (CHPM). This website is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Built on the Public Knowledge Project's OJS 2.4.8.1.
View My Stats