Beberapa Titik Kritis Kebijakan Obat dalam Sistem Jaminan Sosial
Shita Dewi(1*)
(1) Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
(*) Corresponding Author
Abstract
Seiring dengan berjalannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terjadi beberapa perubahan dalam sistem kesehatan Indonesia, salah satunya dalam sistem penyediaan obat dan pembayarannya. Seperti kita ketahui, penggunaan obat dalam JKN mengacu pada penggunaan Formularium Nasional (Fornas) yang digunakan pada sistem Ina-CBGs di rumah sakit. Saat ini Kementerian Kesehatan masih dalam proses penyusunan e-katalog sebagai pandu- an jenis dan harga obat dalam pelayanan JKN, se- hingga untuk sementara waktu BPJS menggunakan Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) sebagai panduan. Mengingat obat adalah salah satu komponen yang dibiayai dalam sistem JKN, kita dapat berasumsi bahwa permintaan obat generik tentu akan mening- kat pesat seiring diberlakukannya JKN. Namun, ada beberapa hal yang dapat menjadi titik kritis dalam situasi ini.
Pertama, dari sisi demand, perlu edukasi bagi pasien mengenai obat generik. Kepercayaan masya- rakat terhadap obat generik masih beragam dan sa- lah satu faktor penyebabnya adalah persepsi tentang kualitas obat generik yang lebih rendah dibanding obat bermerek. Persepsi ini muncul dipengaruhi ba- nyak faktor tetapi terutama karena harga obat generik yang jauh lebih murah, kemasannya kurang menarik dan juga tidak memiliki ‘nama dagang’ yang dikenal masyarakat dari iklan. Oleh karena itu, faktor eduka- si kepada pasien (masyarakat) menjadi mutlak agar masyarakat dapat lebih menerima obat generik. Mes- ki harganya jauh lebih murah, sebenarnya tidak ada perbedaan antara kualitas obat generik jika diban- dingkan dengan obat bermerek. karena obat generik dan obat bermerek sebenarnya merupakan obat copy dari obat paten (originator), sehingga tidak berbeda dalam hal zat aktif, indikasi, dan bentuk sediaan. Sebelum dipasarkan, setiap obat generik, baik yang berlogo maupun bermerek, harus melalui uji bioekivalensi. Dengan uji tersebut, zat aktif obat dan khasiatnya dapat dipastikan sama dengan origi- natornya. Apabila kepercayaan masyarakat terhadap obat generik rendah, besar kemungkinan masyarakat menolak resep obat generik dan menghendaki peresepan obat bermerek yang lebih mahal dan akan membebani biaya kesehatan.
Kedua, dari sisi supply, terdapat dugaan bahwa penerapan JKN diperkirakan akan membuat target pasar obat meningkat beberapa kali lipat untuk me- menuhi kebutuhan 240 juta penduduk Indonesia. Artinya, peningkatan produksi obat khususnya obat generik juga perlu dilakukan oleh industri farmasi di Indonesia. Sejauh ini, belum ada instruksi khusus kepada Gabungan Perusahaan Farmasi mengenai peningkatan kapasitas produksi obat generik untuk menghadapi JKN. Karena itu, keputusan untuk me- ningkatkan produksi bergantung pada masing-masing industri farmasi. Selain itu, ada pula kemungkin- an timbulnya hambatan, khususnya jika ada permin- taan mendadakterhadap produk tertentu.Artinya, ham- batan bukan karena kapasitas, melainkan masalah penjadwalan produksi dan ketersediaan bahan baku. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara JKN menyatakan bahwa BPJS tidak ikut serta dalam tata laksana penyediaan obat untuk peserta JKN. Hal ini sangat berbeda dengan pelaksanaan asuransi ASKES, misalnya, yang menempatkan PT. ASKES sebagai penyedia dan penanggung jawab obat. BPJS dalam era JKN hanya bertanggung jawab pada pemenuhan klaim yang diajukan fasilitas kesehatan. Klaim diajukan berdasarkan ketersediaan dalam fornas, dengan harga berdasarkan e-katalog dan DPHO 2013. De- ngan kondisi ini, maka kondisi internal rumah sakit menentukan ketersediaan obat. Artinya, rumah sakit harus memiliki manajemen keuangan yang baik se- hingga memiliki cashflow yang baik. Cash flow inilah yang menentukan ketersediaan obat. Puskesmas dan layanan kesehatan primer lain, ketersediaan obat sangat bergantung pada instalasi farmasi yang ada di kabupaten/kota, sehingga sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah (baca: alokasi APBD dan DAK) untuk pengadaan obat.
Negara Perancis, Pemerintah juga berupaya mensubstitusi obat bermerk dengan obat generik sebagai salah satu alat kendali biaya. Di Perancis, hampir 90% dari total drug expenditures merupakan reimbursable drugs (obat yang nantinya di-gantibayar oleh pemerintah) karena berada di dalam formularium nasional1. Perlu diketahui bahwa sistem jaminan sosial di Perancis menggunakan mekanisme ganti bayar (reimbursement). Jadi, pasien membayar terlebih dahulu, kemudian menagihkan ke penyelengga- ra jaminan sosial. Jaminan sosial akan mengganti sesuai ketentuan - untuk obat sekitar 65% akan diganti bayar - kecuali bagi peserta CMU-C dimana mereka menikmati fasilitas free-of-charge at the point of service termasuk obat2. Bagi peserta jaminan sosial non CMU-C, co-payment biasanya akan ditagihkan ke asuransi swasta yang mereka ikuti.
Namun, di Perancis, obat generik ternyata juga memiliki tingkat kepercayaan yang relatif rendah. Sebuah rapid survey3 memperlihatkan bahwa sekitar 40% responden merasa tidak yakin terhadap obat generik dan hanya 57% secara konsisten menerima obat generik walau pun 81% menyadari keuntungan menggunakan obat generik karena lebih murah. Sampai tahun 2012 lalu, pangsa pasar obat generik di Perancis hanya sekitar 14% dari total penjualan obat4. Ini mengindikasikan bahwa pengetahuan mengenai harga yang lebih murah tidak mengubah kepercayaan masyarakat terhadap obat generik dan juga tidak mengubah pola perilaku konsumsi mereka. Biaya belanja kesehatan di Perancis diawasi oleh badan pengawasan obat dan produk kesehatan yang disebut Agence Nationale de Sécurité du Médi- cament et des Produits de Santé (ANSM) dan oleh penyelenggara jaminan sosial yaitu La Caisse Natio- nale d’Assurance Maladie (CNAM). Di Perancis ter- dapat beberapa kebijakan untuk menekan biaya be- lanja kesehatan khususnya belanja obat5. Pertama, sejak 2002, CNAM mewajibkan setidaknya seper- empat dari resep yang ditulis dokter merupakan ba- han kimia dari molekul aktif (jadi, bukan merek da- gang), selain itu dokter diberi insentif tambahan apa- bila meresepkan obat generik. Di sisi lain, CNAM memiliki kesepakatan dengan apotik tentang target penjualan obat generik. Selain itu, harga obat generik di dalam formularium nasional diregulasi, terdapat diskon/margin yang lebih besar untuk obat generik dibanding obat bermerek sehingga apotik memiliki insentif untuk mensubstitusi obat bermerek di dalam resep dengan obat generik, pengenaan PPn yang lebih rendah untuk obat yang berada di dalam for- mularium nasional, besaran gantibayar untuk obat generik, de-listing beberapa obat bermerek dari daftar reimbursable drugs, dan sebagainya. Pemerintah juga membatasi jumlah maksimal kunjungan yang boleh dilakukan oleh detailer perusahaan farmasi ke dokter. Hasilnya, antara tahun 2003 – 2010 sempat terjadi kenaikan pangsa pasar obat generik dari 11% menjadi 24%, dan consumer price (harga yang diba- yar masyarakat) hanya naik sekitar 0.6% per tahun6. Sementara itu obat-obat di luar formularium nasional Perancis mengalami kenaikan harga rata-rata 3.2 % per tahun dalam periode yang sama7. Hal ini dise- babkan karena kebanyakan obat bermerek di-delisting (dikeluarkan dari fomularium nasional) oleh pemerintah. Dengan dikeluarkannya obat tertentu dari formularium nasional, obat tersebut tidak lagi diregu- lasi harganya, dan dikenai PPn hampir dua kali lipat dibanding obat di dalam formularium nasional.
Pada tahun 2010 lalu, biaya untuk kesehatan (di luar rawat inap) mencapai sekitar 10% dari kon- sumsi rumahtangga, dan obat merupakan 35.5% dari keseluruhan biaya kesehatan rumahtangga di Peran- cis8, sehingga wajar apabila masyarakat sangat memperhatikan fluktuasi harga obat dan kebijakan pemerintah terhadap obat. Pemerintah telah meng- umumkan kembali komitmennya untuk menurunkan belanja kesehatan untuk obat. Hal ini memiliki dua kemungkinan: semakin gencarnya kebijakan yang mendorong konsumsi obat generik dan/atau de-list- ing obat dari formularium nasional.
Jelas bahwa di bawah sistem jaminan sosial nasional, kebijakan obat merupakan salah satu alat penting yang dipakai pemerintah untuk mengendali- kan belanja kesehatan. Oleh karena itu, identifikasi dan solusi terhadap beberapa titik kritis di Indone- sia perlu dikaji sejak awal.
Pada edisi kali ini, seperti biasa JKKI juga meng- hadirkan beberapa topik kajian kebijakan yang menarik, kebanyakan merupakan analysis of policy dan lebih bersifat monitoring dan/atau evaluasi dalam im- plementasinya. Kami berharap riset-riset mendatang akan lebih banyak lagi mengkaji pilihan kebijakan dan opsi-opsi solusi untuk masalah kebijakan. Selamat membaca.
Full Text:
PDFReferences
Institut National de la Statistique et des Études Économiques (INSEE) report, 2013.
Penjelasan dari system ini dapat dilihat lebih lengkap di editorial JKKI volume 2 nomor 2, Juni 2013
Survey dilakukan pada September- Oktober 2012, dengan sample 1,003 orang mengguna- kan metode online questionnaire.
INSEE report, 2013
Mutualité Française. Favoriser les génériques dans tous les départments. Paris, France, Mu- tualité Française. Available from: www.mutua lite.fr/L-actualite/Kiosque/Revues-de-presse/ Favoriser-les-generiques-dans-tous-les- departements/(language)/fre-FR
INSEE report, 2013.
INSEE report, 2013.
INSEE report, 2011.
DOI: https://doi.org/10.22146/jkki.36350
Article Metrics
Abstract views : 3388 | views : 1534Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2018 Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI [ISSN 2089 2624 (print); ISSN 2620 4703 (online)] is published by Center for Health Policy and Management (CHPM). This website is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Built on the Public Knowledge Project's OJS 2.4.8.1.
View My Stats