RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN: PERLUKAH?
Laksono Trisnantoro(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Saat ini terdapat keluhan mengenai mutu
pendidikan dokter Indonesia, masalah
penyebarannya, serta biaya pendidikan. Keluhan ini
tidak terbatas pada pendidikan dokter umum, namun
juga pendidikan spesialis (residen di rumahsakit).
Dalam konteks ini memang dirasakan ada sesuatu
yang salah dalam pendidikan kedokteran Indonesia.
Oleh karena itu Komisi X DPR melakukan inisiatif
dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Pendidikan Kedokteran. Saat ini RUU tersebut
telah masuk ke pembahasan materi oleh
pemerintah. Diharapkan akhir bulan Juni 2011
pemerintah telah selesai menyusun tanggapannya
untuk kembali dibahas oleh DPR. Pertanyaan
penting yang sering timbul adalah apakah memang
perlu RUU tersebut. Apa masalah kebijakannya?
Dalam tulisan ini ada dua kebijakan yang disoroti
yaotu kebijakan pemerintah di pendidiakn dokter
umum dan kebijakan di pendidikan spesialis.
Berbagai kebijakan yang terkait dengan
pendidikan dokter umum berada dalam berbagai
konteks menarik. Pertama ada berbagai kesulitan
dalam memasukkan lulusan SMA dari daerah sulit
ke Fakultas Kedokteran (FK) negeri, dalam suasana
kebutuhan daerah akan dokter. Dalam situasi ini
eforia desentralisasi mendorong berbagai pemerintah
daerah mendirikan FK dengan modal keuangan dan
sumber daya manusia (SDM) yang terbatas.
Akibatnya mutu pendidikan kedokteran di berbagai
fakultas dipertanyakan. Kedua, kurikulum pendidikan
dokter di Indonesia terlihat berusaha mengejar
kemajuan teknologi sementara itu kesesuaian
dengan kebutuhan lokal terlihat kurang diperhatikan.
Ketiga. dalam suasana permintaan tinggi lulusan
SMA untuk menjadi peserta Pendidikan kedokteran
, berdampak pada situasi dimana fakultas
kedokteran menghasilkan pendapatan besar untuk
perguruan tinggi. Terjadi peningkatan tarif ataupun
sumbangan dari mahasiswa termasuk mahasiswa
asing. Terjadi fenomena buruk yang tidak dapat
dielakkan, fakultas kedokteran di berbagai universitas
negeri dan swasta menjadi penyumbang untuk
pendidikan di fakultas lain.
Di sisi pendidikan profesi selama bertahun-tahun
terjadi ketidak jelasan domain rs pendidikan apakah
berada di Kementerian Kesehatan atau pendidikan
dengan konsekuensi sumber anggarannya.
Kementerian Kesehatan merupakan pemilik
sebagian besar rumahsakit pendidikan yang tidak
mempunyai anggaran khusus untuk pendidikan
dokter umum. Akan tetapi kerjasama antara dua
kementerian ini belum jelas.
Kebijakan pemerintah di Dokter Spesialis
merupakan faktor kedua penting untuk menyusun
RUU ini. Jumlah lulusan dokter spesialis setiap tahun
sangat tidak signifikan jika dibandingkan dengan
kebutuhannya. Hal ini disebabkan karena pendidikan
kedokteran spesialis hanya ada di perguruan tinggi
negeri dan tidak ada dukungan pemerintah dalam
anggaran. Data menunjukkan fakta bahwa
pertumbuhan tenaga dokter spesialis sangat lambat
dibandingkan dengan kenaikan jumlah penduduk.
Oleh karena itu, perlu dirancang sistem pendidikan
spesialis dengan harapan, jumlah dan mutu spesialis
segera dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Di pendidikan spesialis dibutuhkan campur
tangan pemerintah, termasuk pendanaanya. Dengan
demikian biaya yang ditanggung oleh masyarakat
dapat berkurang. Salahsatu inovasi dalam pendidikan
spesialis adalah memberi kesempatan ke sistem
pendidikan yang berdasarkan rumah sakit (hospital
based) pemerintah dan swasta dalam lingkup sistem
perguruan tinggi, dengan ujian nasional untuk
standarisasi kompetensi mereka. Oleh karena itu
kebijakan terhadap peserta pendidikan dokter
spesialis perlu diubah. Peserta pendidikan (residen)
adalah bukan hanya peserta didik, namun juga
merupakan pemberi pelayanan di rumahsakit yang
mempunyai hak dan kewajiban, termasuk menerima
pendapatan dari kegiatannya di rumahsakit.
Kebijakan-kebijakan pemerintah di pendidikan
kedokteran ini perlu dilakukan dengan alat kebijakan
publik yang kuat, dalam bentuk Undang-Undang,
tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah. Oleh
karena itu dibutuhkan RUU pendidikan kedokteran.
Ketika membahas RUU Pendidikan Kedokteran
maka perlu analisis dengan menggunakan
pendekatan reformasi dalam pendidikan kedokteran.
Dalam konteks sejarah, reform bisa berulang-ulang
sesuai kebutuhan jamannya. Reformasi pendidikan
kedokteran yang dituliskan oleh Frenk dkk (Lancet
2010) berfokus pada reform medical education di
abad 20 kemarin. Menurut Frenk ada tiga reform
pendidikan kedokteran di abad ke 2-0: (1) The first
generation, launched at the beginning of the 20th
century, instilled a science-based curriculum; (2)
Around mid-century, the second generation introduced
problem-based instructional innovations; dan
(3) A third generation is now needed that should be
systems based.
Dengan pendekatan pemikiran reformasi
pendidikan kedokteran terlihat bahwa RUU
Pendidikan kedokteran merupakan sebuah reformasi
di pendidikan kedokteran. RUU ini merupakan
kebijakan reformis dalam pendidikan kedokteran,
yang merupakan reformasi generasi ke tiga. Laksono
Trisnantoro (trisnantoro@yahoo.com)
pendidikan dokter Indonesia, masalah
penyebarannya, serta biaya pendidikan. Keluhan ini
tidak terbatas pada pendidikan dokter umum, namun
juga pendidikan spesialis (residen di rumahsakit).
Dalam konteks ini memang dirasakan ada sesuatu
yang salah dalam pendidikan kedokteran Indonesia.
Oleh karena itu Komisi X DPR melakukan inisiatif
dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Pendidikan Kedokteran. Saat ini RUU tersebut
telah masuk ke pembahasan materi oleh
pemerintah. Diharapkan akhir bulan Juni 2011
pemerintah telah selesai menyusun tanggapannya
untuk kembali dibahas oleh DPR. Pertanyaan
penting yang sering timbul adalah apakah memang
perlu RUU tersebut. Apa masalah kebijakannya?
Dalam tulisan ini ada dua kebijakan yang disoroti
yaotu kebijakan pemerintah di pendidiakn dokter
umum dan kebijakan di pendidikan spesialis.
Berbagai kebijakan yang terkait dengan
pendidikan dokter umum berada dalam berbagai
konteks menarik. Pertama ada berbagai kesulitan
dalam memasukkan lulusan SMA dari daerah sulit
ke Fakultas Kedokteran (FK) negeri, dalam suasana
kebutuhan daerah akan dokter. Dalam situasi ini
eforia desentralisasi mendorong berbagai pemerintah
daerah mendirikan FK dengan modal keuangan dan
sumber daya manusia (SDM) yang terbatas.
Akibatnya mutu pendidikan kedokteran di berbagai
fakultas dipertanyakan. Kedua, kurikulum pendidikan
dokter di Indonesia terlihat berusaha mengejar
kemajuan teknologi sementara itu kesesuaian
dengan kebutuhan lokal terlihat kurang diperhatikan.
Ketiga. dalam suasana permintaan tinggi lulusan
SMA untuk menjadi peserta Pendidikan kedokteran
, berdampak pada situasi dimana fakultas
kedokteran menghasilkan pendapatan besar untuk
perguruan tinggi. Terjadi peningkatan tarif ataupun
sumbangan dari mahasiswa termasuk mahasiswa
asing. Terjadi fenomena buruk yang tidak dapat
dielakkan, fakultas kedokteran di berbagai universitas
negeri dan swasta menjadi penyumbang untuk
pendidikan di fakultas lain.
Di sisi pendidikan profesi selama bertahun-tahun
terjadi ketidak jelasan domain rs pendidikan apakah
berada di Kementerian Kesehatan atau pendidikan
dengan konsekuensi sumber anggarannya.
Kementerian Kesehatan merupakan pemilik
sebagian besar rumahsakit pendidikan yang tidak
mempunyai anggaran khusus untuk pendidikan
dokter umum. Akan tetapi kerjasama antara dua
kementerian ini belum jelas.
Kebijakan pemerintah di Dokter Spesialis
merupakan faktor kedua penting untuk menyusun
RUU ini. Jumlah lulusan dokter spesialis setiap tahun
sangat tidak signifikan jika dibandingkan dengan
kebutuhannya. Hal ini disebabkan karena pendidikan
kedokteran spesialis hanya ada di perguruan tinggi
negeri dan tidak ada dukungan pemerintah dalam
anggaran. Data menunjukkan fakta bahwa
pertumbuhan tenaga dokter spesialis sangat lambat
dibandingkan dengan kenaikan jumlah penduduk.
Oleh karena itu, perlu dirancang sistem pendidikan
spesialis dengan harapan, jumlah dan mutu spesialis
segera dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Di pendidikan spesialis dibutuhkan campur
tangan pemerintah, termasuk pendanaanya. Dengan
demikian biaya yang ditanggung oleh masyarakat
dapat berkurang. Salahsatu inovasi dalam pendidikan
spesialis adalah memberi kesempatan ke sistem
pendidikan yang berdasarkan rumah sakit (hospital
based) pemerintah dan swasta dalam lingkup sistem
perguruan tinggi, dengan ujian nasional untuk
standarisasi kompetensi mereka. Oleh karena itu
kebijakan terhadap peserta pendidikan dokter
spesialis perlu diubah. Peserta pendidikan (residen)
adalah bukan hanya peserta didik, namun juga
merupakan pemberi pelayanan di rumahsakit yang
mempunyai hak dan kewajiban, termasuk menerima
pendapatan dari kegiatannya di rumahsakit.
Kebijakan-kebijakan pemerintah di pendidikan
kedokteran ini perlu dilakukan dengan alat kebijakan
publik yang kuat, dalam bentuk Undang-Undang,
tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah. Oleh
karena itu dibutuhkan RUU pendidikan kedokteran.
Ketika membahas RUU Pendidikan Kedokteran
maka perlu analisis dengan menggunakan
pendekatan reformasi dalam pendidikan kedokteran.
Dalam konteks sejarah, reform bisa berulang-ulang
sesuai kebutuhan jamannya. Reformasi pendidikan
kedokteran yang dituliskan oleh Frenk dkk (Lancet
2010) berfokus pada reform medical education di
abad 20 kemarin. Menurut Frenk ada tiga reform
pendidikan kedokteran di abad ke 2-0: (1) The first
generation, launched at the beginning of the 20th
century, instilled a science-based curriculum; (2)
Around mid-century, the second generation introduced
problem-based instructional innovations; dan
(3) A third generation is now needed that should be
systems based.
Dengan pendekatan pemikiran reformasi
pendidikan kedokteran terlihat bahwa RUU
Pendidikan kedokteran merupakan sebuah reformasi
di pendidikan kedokteran. RUU ini merupakan
kebijakan reformis dalam pendidikan kedokteran,
yang merupakan reformasi generasi ke tiga. Laksono
Trisnantoro (trisnantoro@yahoo.com)
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v14i01.2580
Article Metrics
Abstract views : 2305 | views : 1465Refbacks
- There are currently no refbacks.