Journal of Interdisciplinary Legal Issues
https://journal.ugm.ac.id/v3/JILI
<p>Journal of Interdisciplinary Legal Issues (JILI) focuses on conceptual and research articles in both normative and empirical approaches with emphasis on interdisciplinary and multidisciplinary fields of law. <span style="font-weight: 400;">JILI will be open submission, indexed, and peer reviewed. We will accept and publish </span>the articles in 2 (two) languages, both <em>Bahasa Indonesia </em>and English. </p>Universitas Gadjah Madaen-USJournal of Interdisciplinary Legal Issues<p><span style="font-weight: 400;">1. The manuscript that enter the Journal collection are owned and held by Journal of Interdisciplinary Legal Issue (JILI).</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">2. The copyright of chosen manuscript will be turned into JILIs as the Journal manager.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">3. Authors may use some datas or manuscript's parts that have been published by JILI with listing JILI as first publisher, but the author is not entitled to publish the entirety of the manuscript to the other publisher or journal.</span></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">Authors are expected to fill out and agree to copyright transfer agreements along with manuscript collection. Copyright transfer agreements can be accessed by "<a title="Copyright Transfer Agreement" href="https://simpan.ugm.ac.id/s/P2GawNlupVVYZJE" target="_blank" rel="noopener">Clicking this link</a>"</span></em></p>“WOMEN AREN’T EVEN APPRECIATED”: PROBLEMS IN ACCESSING SAFE ABORTION SERVICES FOR WOMEN VICTIMS OF RAPE
https://journal.ugm.ac.id/v3/JILI/article/view/17275
<p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan dalam implementasi pemberian layanan aborsi aman dan berkualitas bagi perempuan korban perkosaan. Penelitian ini bersifat Yuridis-Empiris. Menggunakan data primer melalui proses wawancara dengan korban perkosaan, Komnas Perempuan dan Rifka Annisa Women’s Crisis Center serta menggunakan data sekunder dan data tersier yang relevan. Hasilnya kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan cara Miles and Huberman kemudian dijabarkan secara deskriptif. Terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan bagi korban perkosaan ketika mengakses layanan aborsi aman sebagai bagian dari pemenuhan hak kesehatan reproduksinya, yaitu: 1) Batasan usia kehamilan, 2) Perspektif terhadap korban, 3) Ketersediaan layanan aborsi aman, 4) Minimnya informasi di masyarakat, dan 5) Stigmatisasi. Berdasarkan hasil temuan ini, perlu adanya pembuatan aturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan terbaru serta penyediaan “Layanan Satu Atap” yang terintegrasi antar lintas sektor dan melibatkan multi pihak sehingga memudahkan korban dalam mengakses keadilan dan mempersingkat prosesing demi pemenuhan hak atas aborsi aman.</p>Nuril F. Lamawatu
Copyright (c)
2025-11-102025-11-102112410.22146/jili.v2i1.17275THE PROBLEM OF INDONESIAN ULEMA COUNCIL’S FATWA AND ITS IMPLICATION TO RELIGIOUS MINORITY GROUPS IN CONTEMPORARY INDONESIA
https://journal.ugm.ac.id/v3/JILI/article/view/4832
<p class="Abstract"><em><strong><span lang="EN-IN">ABSTRACT</span></strong></em></p> <p class="Keywords"><em><span lang="EN-US">Religious minority groups in Indonesia are often victims of human rights violations in expressing and carrying out religious activities, such as cases of prohibiting the establishment of places of worship, accusations of practicing deviant teachings or heresy, and accusations of blasphemy. In each of these cases, there is almost always the involvement of Indonesian Ulema Council (MUI) as the organization that is considered the most representative of Muslims in Indonesia in answering religious issues.</span></em> <em><span lang="EN-US">This paper is analyzing the problems of the MUI fatwa and its implication on religious minority groups in contemporary Indonesia and its aftermath</span></em><em><span lang="EN-IN">. The conclusion of this paper stated that </span></em><em><span lang="EN-US">the existence of the MUI and its fatwas regarding religious apostasy and blasphemy is a form of paradox in the Indonesian state which is based on law, human rights, and democracy. The MUI and its fatwas appear to be above the law—even referred to by law enforcement officials in handling cases of blasphemy and prohibiting certain religious thought. Furthermore, its quasi-authoritative authority in making fatwas has been proven in various cases to have contributed to the violation of the right to freedom of religion and belief—as the legitimacy by certain parties to persecute religious minority groups. In such a situation, the Indonesian state must rely on the principle of the rule of law, its obligations to human rights, and its consistency with democracy.</span></em></p> <p class="Keywords"><strong><em><span lang="EN-IN"> </span></em></strong></p> <p class="Keywords"><strong><em><span lang="EN-IN">Keywords</span></em></strong><em><span lang="EN-IN">: Indonesian Ulema Council, Fatwa, Religious Minority Groups, Human Rights, Democracy</span></em></p> <p class="Keywords"><em><span lang="EN-IN"> </span></em></p> <p class="Keywords"><strong><span lang="EN-IN">INTISARI</span></strong></p> <p class="Keywords"><span lang="EN-IN">Kaum minoritas beragama di Indonesia seringkali menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam mengekspresikan dan menjalankan aktivitas keagamaan, seperti pada kasus pelarangan pendirian rumah ibadah, tuduhan menjalankan ajaran sesat atau terlarang, dan tuduhan penistaan. Dalam setiap kasus-kasus tersebut, hampir selalu terdapat keterlibatan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi yang dianggap paling merepresentasikan Muslim di Indonesia dalam menjawap persoalan keagaaman. Artikel ini menganalisis persoalan fatwa MUI dan implikasinya pada kelompok minoritas beragama di Indonesia kontemporer dan akibat yang ditimbulkannya. Kesimpulan artikel ini menunjukkan bahwa eksistensi MUI dan fatwanya berkaitan dengan penyimpangan dan penistaan agama merupakan suatu bentuk paradoks di negara Indonesia yang berdasarkan hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. MUI dan fatwanya tampil melampaui hukum—bahkan dirujuk oleh aparat penegak hukum dalam menangani kasus penistaan dan pelarangan terhadap ajaran keagamaan tertentu. Selain itu, kewenangan kuasi-otoritatif MUI dalam membuat fatwa telah terbukti dalam beberapa kasus berkontribusi pada pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan—sebagai legitimasi oleh pihak-pihak tertentu untuk mempersekusi kelompok minoritas beragama. Dalam situasi ini, negara Indonesia harus berpihak pada prinsip supremasi hukum, tanggung jawabnya terhadap hak asasi manusia, dan konsistensinya dengan demokrasi.</span></p> <p class="Keywords"><span lang="EN-IN"> </span></p> <p class="Keywords"><strong><span lang="EN-IN">Kata Kunci</span></strong><span lang="EN-IN">: Majelis Ulama Indonesia, Fatwa, Kelompok Minoritas Beragama, Hak Asasi Manusia, Demokrasi</span></p>Muhammad Maulana Hasnan RasyidPanji Mulkillah Ahmad
Copyright (c)
2025-11-102025-11-1021253910.22146/jili.v2i1.4832URGENSI PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP KEBEBASAN UNTUK BERBICARA DAN MENYATAKAN PENDAPAT DARI ANCAMAN STRATEGIC LAWSUIT AGAINST PUBLIC PARTICIPATION
https://journal.ugm.ac.id/v3/JILI/article/view/5387
<p>Kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat te;ah dijamin<br>melalui berbagai regulasi di Indonesia. Tetapi, dalam implementasinya, pelanggaran-<br>pelanggaran tehadap kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat masih sering<br>terjadi. Kasus-kasus sehubungan dengan pelanggaran terhadap kebebasan berbicara<br>dan menyatakan pendapat juga sering datang dari upaya dengan tujuan pembungkaman<br>yang disebut sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Amat<br>banyak contoh untuk ini, seperti kasus yang dialami Budi Pego dan Joko Hariono.<br>Fenomena SLAPP bukan merupakan hal baru di Indonesia dan secara global. Dalam<br>praktik beberapa negara, aturan anti-SLAPP menjadi jawabannya. Namun, aturan anti-<br>SLAPP yang berguna untuk melindungi kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat</p> <p>secara luas belum ada. Ada dua rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu, pertama,<br>bagaimana praktik SLAPP dan perlindungan negara terhadap kebebasan berbicara dan<br>menyatakan pendapat di Indonesia saat ini? Kedua, bagaimana konsep pembentukan<br>regulasi undang-undang anti-SLAPP guna optimalisasi pengaturan perlindungan<br>kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat sebagai upaya perlindungan<br>HAM? Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif berupa analisis putusan.<br>Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan<br>konseptual, dan komparatif. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa praktik SLAPP<br>benar-benar terjadi di Indonesia, namun aturan yang berdaya untuk mencegah<br>ancaman SLAPP terhadap kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat belum ada.<br>Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa pengadilan juga belum berdaya untuk<br>melindungi kebebasan tersebut. Tawaran ini didukung oleh aspek filosofis sehubungan<br>dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradap serta tujuan negara Indonesia, aspek<br>yuridis sehubungan dengan jaminan konstitusional untuk kebebasan berbicara dan<br>menyatakan pendapat dan aspek sosiologis yang sehubungan dengan upaya negara-<br>negara lain, seperti Amerika, Ontario (Kanada), dan Filipina dalam membentuk regulasi<br>anti-SLAPP.</p>Adullah widy asshidiq
Copyright (c) 2025 Adullah widy asshidiq
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0
2025-11-102025-11-1021607510.22146/jili.v2i1.5387Unraveling Sufficient Gravity: Interpreting Article 17(1)(d) of the Rome Statute in light of ICC’s threefold and twofold tests
https://journal.ugm.ac.id/v3/JILI/article/view/13193
<p><em><span style="font-weight: 400;">While the International Criminal Court (ICC) can determine admissibility on its own motion,</span></em><em><span style="font-weight: 400;"> parties can challenge the admissibility of the case pursuant to Article 17(1)(d) of the Rome Statute (RS), which requires “sufficient gravity to justify further action by the Court.”—the Chambers may even determine the admissibility of the case solely on the basis of gravity.</span></em><em><span style="font-weight: 400;"> Despite the centrality of the gravity assessment, “gravity” alone is not defined or exemplified anywhere in the Rome Statute or even the later-adopted Rules of Procedure and Evidence; let alone the threshold of what would constitute “sufficient” gravity. Within the active operation of the ICC, the Court has applied two tests to determine “sufficient gravity”, pursuant to the requirement espoused in Article 17(1)(d) RS. The two tests are, firstly, the threefold test originating from the Situation in Congo case, constituting (1) large-scale or systematic conduct,</span></em><em><span style="font-weight: 400;"> (2) social alarm,</span></em><em><span style="font-weight: 400;"> and (3) the most senior leader,</span></em><em><span style="font-weight: 400;"> and, secondly, the twofold test gathered in Situation in Côte d’Ivoire case, constituting (i) the aggravating factors of the case, and (ii) persons bearing the greatest responsibility.</span></em><em><span style="font-weight: 400;"> This research paper aims to review the implications by both tests in light of the interpretation of Article 17(1)(d) RS using general rule of treaty interpretation under customary international law</span></em><em><span style="font-weight: 400;">—Articles 31 and 32 of VCLT—where necessary, in order to determine the compatibility of the proposed tests by the ICC with the gathered interpretation, and if there should be any modification made in the current practice of determining “sufficient gravity”.</span></em></p>Michael Simanjuntak
Copyright (c)
2025-11-102025-11-1021769910.22146/jili.v2i1.13193