https://journal.ugm.ac.id/v3/MH/issue/feedMimbar Hukum2024-07-09T20:12:50+07:00Fajri Matahati Muhammadinhk-mimbar@ugm.ac.idOpen Journal Systems<p>Welcome to the official website of Mimbar Hukum, where we aspire to contribute to the dialectics of theory and philosophy of law. With the spirit of further proliferation of knowledge on the legal system in Indonesia to the wider communities, this website provides journal articles for free download. Our academic journal is a source of reference for both law academics and legal practitioners.</p> <p>Mimbar Hukum is a double-blind review academic journal for Legal Studies published by Journal and Publication Unit of the Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada, periodically published (in June and December).</p>https://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/6984BEYOND DICHOTOMIES: SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO’S VISION FOR A MODERATED LEGAL PARADIGM2024-06-11T08:29:35+07:00Victor Imanuel W. Nallevictor@ukdc.ac.id<p>Abstract</p> <p><em>This article employs a legal biography approach to review the thoughts of Indonesian legal philosopher Soetandyo Wignjosoebroto regarding the complexity and distinctiveness of this field of study, as well as the importance of moderating it. Soetandyo portrays law as a system that must maintain its complexity as it reflects the intricate nature of reality. In an increasingly pluralistic and intricate societal context, identifying applicable laws becomes a challenging task. Consequently, Soetandyo underscores the significance of interconnecting legal science with other disciplines. In terms of decolonization of law, Soetandyo’s perspective, which avoids dichotomizing Western law from indigenous legal systems, assumes paramount importance. He alerts us to the peril of falling into the myth of the Western vs. Eastern dichotomy within the realm of legal science. Such a line of thought could impede our legal system’s ability to adapt to universal values. Taken as a whole, Soetandyo’s thoughts illustrate the necessity of tempering the study of law by perceiving it as an open system unbound by rigid methodologies. He also highlights the need for a robust epistemological foundation and a moderate approach when addressing complex issues such as the decolonization of law and the integration of legal studies with the social sciences.</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Artikel ini menggunakan pendekatan biografi hukum untuk mengulas pemikiran filosof hukum Indonesia, Soetandyo Wignjosoebroto, tentang ilmu hukum yang menekankan kompleksitas dan kekhasan ilmu ini serta pentingnya memoderasinya. Pemikiran Soetandyo menunjukkan hukum sebagai sistem yang harus mempertahankan kompleksitasnya karena merefleksikan realitas yang kompleks. Dalam masyarakat yang semakin plural dan kompleks, identifikasi hukum yang berlaku menjadi tugas yang rumit. Oleh karena itu, Soetandyo menekankan pentingnya menghubungkan ilmu hukum dengan disiplin ilmu lain. Dalam konteks dekolonisasi hukum, pandangan Soetandyo yang menghindari pemisahan antara hukum Barat dan hukum lokal menjadi signifikan. Dia mengingatkan tentang bahaya jatuh ke dalam mitos dikotomi Barat dan Timur dalam ilmu hukum. Pemikiran semacam itu bisa membuat sistem hukum kita gagal beradaptasi dengan nilai-nilai universal. Secara keseluruhan, pemikiran Soetandyo mengilustrasikan kebutuhan untuk memoderasi ilmu hukum dengan<br>melihatnya sebagai sistem terbuka yang tidak terikat pada satu metode tertentu. Ia juga menyoroti pentingnya landasan epistemologi yang kuat dan pendekatan moderat dalam menghadapi isu-isu kompleks seperti dekolonisasi hukum dan integrasi dengan ilmu sosial.</p>2024-06-09T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Victor Imanuel W. Nallehttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/11985DILEMA PENGATURAN KEDUDUKAN HUKUM INTERNASIONAL DI DALAM KONSTITUSI INDONESIA2024-06-11T08:29:15+07:00Rahadian Diffaul Barraq Suwartonordbsuwartono@uii.ac.idVania Lutfi Safira Erlanggav.l.s.erlangga@umail.leidenuniv.nl<p>Abstract </p> <p><em>Indonesia faces a dilemma in its Constitution regarding the regulation of international law in relation to national law. Despite gaining independence over 78 years ago, there remains no unified stance on this issue. Indonesia actively participates in international relations and has adopted many international laws, creating a grey area that exacerbates legal issues. This article explores the Indonesian constitution’s challenges and shortcomings in regulating the position of international law, stemming from historical, sociological, and juridical factors. The primary issues are Indonesia’s inconsistent attitude towards international law and its indecisiveness in establishing a primary doctrine for its position, unable to decide between the monism and dualism theory. Nationalist groups, skeptical of international law, further complicate the situation by rejecting its inclusion in the Constitution. This confusion leads to derivative and latent problems within Indonesia’s legal system. The article examines why this dilemma exists and the resulting legal issues. The research is normative, employing conceptual, historical, and legal-policy approaches. It combines perspectives from Indonesian constitutional law and international law theories, prioritizing the Indonesian national interest paradigm.</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Indonesia mengalami dilema untuk mengatur kedudukan hukum internasional terhadap hukum nasional di dalam konstitusi. Meski telah merdeka lebih dari 78 tahun yang lalu, Indonesia belum memiliki pandangan bulat dalam memosisikan hukum internasional. Hal ini membuka ruang abu-abu dan mengakibatkan efek domino yang memperkeruh permasalahan hukum di Indonesia. Artikel ini menyoroti dilema dan ‘kegagalan’ konstitusi Indonesia untuk mengatur posisi hukum internasional. Terdapat sumbangsih kegagalan penerapan teori hukum yang konsisten dalam munculnya dilema ini. Sikap fluktuatif Indonesia terhadap hukum internasional dan kebimbangan menentukan doktrin utama untuk memosisikan hukum internasional menjadi faktor paling dominan. Kebimbangan untuk menerapkan teori monisme atau dualisme menjadi akar masalah. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya kelompok nationalist sentiment yang pesimistis terhadap hukum internasional dan menolak pengakuannya di dalam konstitusi. Kebimbangan ini mengakibatkan permasalahan turunan dan laten pada tata hukum di Indonesia. Artikel ini menjelaskan mengapa dilema ini terjadi dan apa saja permasalahan hukum yang diakibatkannya. Penelitian pada artikel ini disusun sebagai penelitian normatif yang menggunakan pendekatan konseptual, historis, dan politik hukum. Artikel ini menggabungkan perspektif hukum tata negara<br>Indonesia dengan perspektif teori hukum internasional dengan mengutamakan paradigma kepentingan nasional Indonesia.</p>2024-06-09T08:17:48+07:00Copyright (c) 2024 Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Vania Lutfi Safira Erlanggahttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/11513THE RELEVANCE OF JÜRGEN HABERMAS’S THEORY OF COMMUNICATIVE ACTION AS THE PHILOSOPHICAL FOUNDATION OF HUMAN RIGHTS ENFORCEMENT IN INDONESIA2024-06-11T08:29:12+07:00Muklis Al'anammuklis.alanam-2023@fh.unair.ac.idRadian Salmanradian.salman@fh.unair.ac.id<p>Abstract</p> <p><em>Habermas’s theory of communicative action is highly relevant as a philosophical foundation for upholding human rights, emphasizing the intrinsic value of each individual, which must not be eliminated by any power. This is supported by Article 6 paragraph (1) of the International Covenant on Civil and Political Rights, ratified as Law Number 12 of 2005. Critical theory, a school of philosophy, focuses on liberating human knowledge from transcendental and empirical oppression, critiquing ideologies that perpetuate social oppression. Human rights </em><em>have become a dynamic issue in Indonesia, especially during the Presidential Election, with widespread discussions at national and international levels. Countries, organizations, and individuals are increasingly voicing concerns about human rights issues. These problems are complex, particularly in resolving and sanctioning perpetrators, leading some to view human rights as “merely theoretical.” Applying critical theory is crucial in this context, as perfected by Jürgen Habermas. This research employs normative methods, including statutory, conceptual, and case approaches. It concludes that Jürgen Habermas’s theory of communicative action and John Locke’s natural law are similar, emphasizing the inherent meaning of external rights. This grounding makes Habermas’s theory important for upholding law and human rights internationally, although its implementation remains ambiguous.</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Teori kritis tindakan komunikatif Habermas sangat relevan sebagai fondasi filosofis penegakan HAM yang menekankan nilai intrinsik setiap individu, yang tidak boleh dihilangkan oleh kekuasaan mana pun, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Teori kritis adalah aliran filsafat tentang pembebasan pengetahuan manusia dari segala bentuk penindasan transendental dan empiris. Ide teori kritis adalah kritik terhadap ideologi yang bertujuan<br>menyadarkan manusia akan penindasan sosial dan mencoba membebaskannya. Isu HAM menjadi perbincangan dinamis di Indonesia, terutama pada saat pemilihan presiden, serta di dunia internasional. Berbagai negara, organisasi, dan individu menyuarakan sudut pandang HAM yang ada. Problematika HAM sulit diselesaikan dan penerapan sanksi bagi pelaku sering dianggap “teorik belaka.” Penerapan teori tindakan komunikatif ini penting terkait HAM karena disempurnakan oleh Jürgen Habermas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan adanya kesamaan konsep antara teori kritis Jürgen Habermas dan aliran hukum kodrat John Locke, yang menekankan hak-hak lahiriah. Teori Jürgen Habermas menjadi penting untuk penegakan hukum dan HAM di dunia internasional, meskipun penerapannya masih ambigu.</p>2024-06-09T10:00:32+07:00Copyright (c) 2024 Muklis Al'anam, Radian Salmanhttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/12459AN EVALUATION OF THE PLACE OF MORALITY AND ETHICS IN ISLAMIC CIVIL LAW AND CONTEMPORARY TURKISH CIVIL LAW2024-06-11T08:29:23+07:00Hatice Akturkhaticeatalay@aybu.edu.tr<p>Abstract</p> <p><em>Like morality, law as a phenomenon develops in a process along with inevitable radical breaking points. Nevertheless, the phenomenon of law, which is constantly changing and developing, takes into many elements from past events, especially past legal systems. In this regard, the current Turkish law comes in handy as it departed during the Republican era from the Islamic legal system practiced for centuries and transitioned to the modern continental European legal system, nourished by many elements of Islamic law in the process. This article will examine the relationship between law, morality, and ethics by focusing on the similarities between these two legal systems.</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Sama halnya dengan moralitas, hukum sebagai sebuah fenomena berkembang dalam sebuah proses yang disertai dengan titik-titik terobosan radikal yang tak terelakkan. Tak dapat dipungkiri bahwa fenomena hukum yang terus berubah dan berkembang mengambil banyak elemen dari peristiwa masa lalu, terutama sistem hukum masa lalu. Dalam hal ini, hukum Turki saat ini sangat berguna karena berasal pada era Republik dari sistem hukum Islam yang dipraktikkan selama berabad-abad dan yang bertransisi ke sistem hukum Eropa kontinental yang terpengaruhi berbagai elemen hukum Islam dalam prosesnya. Artikel ini akan membahas hubungan antara hukum, moralitas dan etika dengan berfokus pada kesamaan antara kedua sistem hukum ini.</p>2024-06-09T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Hatice Akturkhttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/10827ARTIFICIAL INTELLIGENCE IN THE AUSPICES OF LAW: A DIVERGE PERSPECTIVE2024-06-11T08:29:19+07:00Rangga Hotman Hasibuanranggahasibuan25@gmail.comAurelya Jessica Rawungaurelyarawung071@student.unsrat.ac.idDenisha M. D. Parandukdenishaparanduk@gmail.comFidel Jeremy Wowilingfidelwowiling026@student.unsrat.ac.id<p>Abstract</p> <p><em>Artificial Intelligence (AI), encompassing computation for perception, reasoning, and action, poses complex legal considerations. This study explores AI’s impact and its legal ramifications, particularly its autonomy in communication and creation, raising concerns about language, intellectual property, and ethical accountability. Influenced by Common Law and Civil Law systems, discussions vary. Evaluating AI creator liability uncovers intricate connections between AI’s autonomy, intentionality, and creators’ roles. The approach used in this article </em><em>are based on normative method with multidisciplinary discipline. The results are that though AI creators aren’t directly liable, vicarious liability could link actions to AI behaviors based on programming choices. Balancing innovation and accountability calibrated “creator immunities” are vital. Unchecked immunities could impede responsible AI development; measured immunities might encourage ethical practices, considering AI nuances and societal impacts. Positioning AI as a legal subject necessitates tailored approaches within ethical boundaries. The proposition of AI as a derivative legal subject while setting clear limits is pivotal. Adapting legal systems to evolving AI landscapes and reconciling advancement with societal well-being, is crucial. AI’s intricate accountability, its legal standing, and creator liabilities and immunities demand reshaping legal frameworks for an </em><em>ethical AI environment.</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kecerdasan Buatan (AI), yang mencakup komputasi persepsi, penalaran, dan tindakan, menimbulkan pertimbangan hukum yang kompleks. Studi ini mengeksplorasi dampak AI dan konsekuensi hukumnya, terutama otonominya dalam komunikasi dan kreasi, yang menimbulkan kekhawatiran tentang bahasa, kekayaan intelektual, dan akuntabilitas etis. Melalui sistem Common Law dan Civil Law, pembahasannya pun beragam. Mengevaluasi pertanggungjawaban pencipta AI mengungkap hubungan yang rumit antara otonomi, kesengajaan, dan peran pencipta AI. Pendekatan yang digunakan didasarkan pada metode normatif dengan disiplin ilmu yang beragam. Hasilnya adalah bahwa meskipun pencipta AI tidak bertanggung jawab secara langsung, doktrin vicarious liability dapat menghubungkan tindakan dengan perilaku AI berdasarkan pilihan<br>pemrograman. Menyeimbangkan inovasi dan akuntabilitas, kekebalan pencipta yang terukur sangat penting. Kekebalan yang tidak terkendali dapat menghambat pengembangan AI yang bertanggung jawab; kekebalan yang terukur dapat mendorong praktik-praktik etis, dengan mempertimbangkan nuansa AI dan dampak sosial. Memosisikan AI sebagai subjek hukum memerlukan pendekatan yang disesuaikan dengan batasan etika. Proposisi AI sebagai subjek hukum turunan sambil menetapkan batasan yang jelas sangat krusial. Mengadaptasi sistem hukum dengan lanskap AI yang terus berkembang dan menyelaraskan kemajuan dengan kesejahteraan masyarakat, sangatlah vital. Pertanggungjawaban AI yang rumit, kedudukan hukumnya, dan kewajiban serta kekebalan pencipta menuntut pembentukan kembali kerangka kerja hukum untuk lingkungan AI yang etis.</p>2024-06-09T08:15:22+07:00Copyright (c) 2024 Rangga Hotman Hasibuan, Aurelya Jessica Rawung, Denisha M. D. Paranduk, Fidel Jeremy Wowilinghttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/7553ENVIRONMENTAL PERSONHOOD REIMAGINED: A CONCISE PHILOSOPHICAL REVIEW2024-07-09T20:12:50+07:00Muhammad Pasha Nur Fauzancontact.pashafauzan@gmail.comIndra Perwiraindra@unpad.ac.idImamulhadiimamulhadi@unpad.ac.id<p>Abstract</p> <p><em>This paper is built upon one question: can the natural world be recognised as a ‘member’ of a legal community? By exploring the nature of legal personhood, this paper revisits the concept of environmental personhood. This paper uses the naturalistic approach to ground legal philosophical analysis in empirical realities and gain a deeper understanding of the natural world. This paper argues that legal personhood is an institutional fact influenced by moral ideas configured based on how humans organise organize value. The concept of ‘environmental personhood’ is built upon the idea that the natural world possesses inherent rights that must be protected similarly to human rights. This paper finds that, although the ecocentric approach to environmental personhood must be rejected, it can be salvaged. By reformulating environmental personhood based on artificial personhood, this paper opens up opportunities for the concept to be maintained. It aims to ground a theoretical foundation for further constitutional law research, specifically regarding how the constitution should frame the natural world’s ideal position within the state.</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Penelitian ini didasarkan pada satu pertanyaan: dapatkah lingkungan dimasukkan sebagai anggota komunitas hukum? Dengan menelusuri konsep subjek hukum, penelitian ini meninjau kembali konsep lingkungan sebagai subjek hukum. Artikel ini menggunakan pendataan filsafat hukum naturalistik guna mendasarkan analisis filsafat hukum pada realitas empiris dan mampu menangkap pemahaman lebih dalam mengenai realitas alam. Artikel ini menemukan bahwa subjek hukum merupakan fakta institusional yang dibentuk oleh gagasan moral, yang dikonfigurasikan berdasarkan cara manusia mengorganisasikan nilai. Konsep lingkungan sebagai subjek hukum didasarkan pada gagasan bahwa alam memiliki hak inheren yang harus dilindungi. Artikel ini juga menemukan bahwa, meski pendekatan ekosentris dalam konstruksi lingkungan sebagai subjek hukum inkoheren dan mesti ditolak, konsep tersebut mungkin masih dapat diselamatkan. Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan fondasi teoritis untuk penelitian Hukum Tata Negara lanjutan, utamanya mengenai bagaimana konstitusi harus mengonstruksikan posisi realitas alam dalam negara.</p>2024-06-09T10:05:26+07:00Copyright (c) 2024 Muhammad Pasha Nur Fauzan, Indra Perwira, Imamulhadihttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/10434REALISME HUKUM KARL LLEWELLYN VS. RANTAI-BAJA FORMALISME: PEMENANGAN CITRA KEARIFAN PRAGMATIS DALAM ALGORITMA THE LAW-JOB THEORY2024-06-27T19:54:46+07:00Herman Bakirherman_bakir@borobudur.ac.id<p><em>Abstract</em></p> <p><em>This project aims to highlight the anatomy of The Law-Job Theory, one of the most influential philosophical theories throughout Legal Realism. This theory emerged as a response to tearing through the web of illusion created by Formalism, which is suspected of “smuggling” monolithic dangers that often lurk behind the bland, flat, and seemingly “bloodless” processes of legal proceedings. Developed in US, it reflects the concerns of its initiator, Karl Llewellyn regarding the stiffness, rigidity, or hibernation in how formalist judges handle cases, often viewed with disdain by sharp-minded sociologists. The theory’s central idea is that law is “something that works.” Law works continuously to embody four administrative objectives that have become its absolute responsibility to realize: (a) resolving cases, (b) suppressing destructive behaviour, (c) delegating/revoking authority, and (d) maintaining harmony within social structures. For these works to achieve maximum effectiveness, the law requires adequate flexibility. The key lies in the hands of judges. They must transcend paper’s rigid certainties to prevent the law from losing its vital sociological essence and becoming a “cold, dysfunctional social force.” In their hands, the law is not static but progressive, evolving to reach the pinnacle of pragmatic maturity.</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Proyek ini bertujuan mengetengahkan anatomi The Law-Job Theory, salah satu teori kefilsafatan yang dianggap paling berpengaruh dalam tradisi Realisme Hukum. Teori ini berupaya merobek jala ilusi Formalisme yang dicurigai menyelundupkan ancaman monolitik, yang sering kali mengintai di balik proses persidangan yang hambar, datar dan seakan “tidak memiliki darah”. Teori ini dikembangkan di Amerika, sebagai ungkapan kekhawatiran penggagasnya, Karl Llewellyn terkait kekakuan, rigiditas, atau hibernasi dalam cara hakim formalis mengapresiasi perkara-perkara, yang sering kali dianggap menjijikkan oleh sosiolog-sosiolog berpandangan tajam. Top of form idenya, hukum adalah “sesuatu yang bekerja”. Hukum bekerja sepanjang waktu, demi mengejawantahkan empat tujuan administratif yang secara mutlak telah menjadi tanggung jawabnya untuk merealisasikannya: (a) mendisposisikan perkara; (b) meredam perilaku destruktif; (c) mendelegasikan/mencabut otoritas; (d) mempertahankan harmoni dalam struktur-struktur sosial. Agar pekerjaan ini mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas yang maksimum, yang diperlukan hukum adalah tingkat fleksibilitas yang memadai. Kuncinya di tangan hakim. Mereka harus mampu menjelajah lebih jauh, meninggalkan titik-kepastian yang kaku di atas kertas. Bagi teori ini, kepastian yang berlebihan dapat mengakibatkan hukum mengorbankan sebagian besar dari esensi sosiologisnya yang vital—mengubahnya menjadi “kekuatan sosial yang dingin-disfungsional”. Di tangan mereka perlu ditunjukkan bahwa hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan progresif, tengah bertumbuh-kembang untuk mengincar taraf tertinggi dari hierarki kedewasaan yang pragmatis.</p>2024-06-08T18:16:33+07:00Copyright (c) 2024 Herman Bakirhttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/9493SOME DEBATES OF HERMENEUTIC AND LEGAL INTERPRETATION: CRITICAL ANALYSIS OF HANS-GEORG GADAMER PHILOSOPHICAL HERMENEUTICS2024-06-11T08:29:29+07:00Artha Debora Silalahiarthadeborasilalahi@mail.ugm.ac.id<p style="font-weight: 400;">Abstract</p> <p style="font-weight: 400;"><em>Gadamer’s philosophical hermeneutics is rooted in the idea that interpretation, understanding, or meaning cannot take place outside of historical and social contexts. This approach challenges the traditional view of law as an autonomous and rational discourse, emphasizing the importance of dialogue and ethical deliberation in legal interpretation. Gadamer’s insights provide a unique perspective on legal hermeneutics, offering necessary protocols for determining, giving meaning, and emphasizing the historical and social embeddedness of legal </em><em>practice. While some describe legal interpretivism as a hybrid between legal positivism and natural law theory, Gadamer’s hermeneutics offers an alternative approach to legal meaning, focusing on the historical and social contexts that shape interpretive activities. This approach provides a nuanced understanding of legal interpretation, emphasizing the concretization of the law through dialogue and ethical deliberation.</em></p> <p style="font-weight: 400;">Abstrak</p> <p style="font-weight: 400;">Hermeneutika filosofis Gadamer didasarkan pada asumsi bahwa penafsiran, pemahaman, atau makna tidak dapat muncul di luar konteks sejarah dan sosial. Pendekatan ini menantang pandangan tradisional tentang hukum sebagai wacana yang otonom dan rasional serta menyoroti pentingnya dialog dan pertimbangan etis dalam penafsiran hukum. Gagasan Gadamer memberikan perspektif unik mengenai hermeneutika hukum dengan menyarankan protocol yang diperlukan untuk menentukan makna dan menyoroti interkoneksi historis dan sosial dari praktik hukum. Meskipun ada yang menggambarkan interpretasi hukum sebagai kombinasi positivisme hukum dan teori hukum kodrat, hermeneutika Gadamer menawarkan pendekatan alternatif terhadap makna hukum dengan berfokus pada konteks sejarah dan sosial yang membentuk aktivitas hukum. Pendekatan ini memungkinkan adanya pemahaman yang berbeda mengenai penafsiran hukum dengan penekanan pada penerapan hukum melalui dialog dan pertimbangan etis.</p>2024-06-09T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Artha Debora Silalahihttps://journal.ugm.ac.id/v3/MH/article/view/7146MEMBUMIKAN BUDAYA HUKUM PANCASILA MELALUI REVOLUSI MENTAL UNTUK PENGUATAN INTEGRITAS APARATUR PERADILAN 2024-06-19T13:44:19+07:00Dewantorodewantoroandreas2001@gmail.com<p>As a legal state founded on the Pancasila ideology, Indonesia undertakes various activities to develop its legal system. This includes enhancing the internal legal culture among law enforcement officials, particularly within judicial institutions. Pancasila provides values and guidelines for national and state conduct, emphasizing that all actions, both within and outside official judicial roles, should reflect these noble values. Indonesian judges are expected to demonstrate high integrity, aligning their conduct with Pancasila. However, recent allegations of corruption within judicial institutions indicate that the judicial apparatus has not fully embraced Pancasila values. This gap in the legal culture suggests a lack of adherence to these principles. Doctrinal juridical research has concluded that the National Movement of Mental Revolution is crucial for revitalizing and embedding Pancasila values within judges and the judicial apparatus. This revitalization aims to restore public trust and encourage the general public to emulate the attitudes and behavior of the judiciary, thereby implementing Pancasila values in daily activities and reinforcing the concept of a Pancasila-based legal state.</p>2024-06-18T20:46:37+07:00Copyright (c) 2024 Dewantoro