Melintasi Gerbang Kreativitas: Langendriyan pada Era Mengkoenagoro V Hingga Mangkoenagoro VII

  • Khirana Marwadika Departemen Sejarah UGM

Abstract

Abstract

Langendriyan is an art that originally grew in Yogyakarta, but developed specifically into a distinctive art and pride of the Mangkunegaran Duchy. This art is a dance that is characterized by the combination of movement and sound elements. Langendriyan that developed in Mangkunegaran was then called Langendriyan Mangkunegaran style which was born in the era of Mangkoenagoro IV. The purpose of this article is to find out how the ups and downs of Langendriyan in the leadership era of Mangkoenagoro V to Mangkoenagoro VII. This article uses historical methods and qualitative methods. The sources used are primary sources as well as journals and books relevant to the article. From the research that has been done, it is known that langendriyan has undergone changes in development that adjust the internal and especially external circumstances of the duchy. In the era of Mangkoenagoro V, langendriyan experienced updates in dance composition and clothing. Then in the era of Mangkoenagoro VI, langendriyan faded due to the unstable internal and external conditions of the duchy. Langendriyan triumphed again in the era of Mangkoenagoro VII when there were significant updates in dance composition, movement, sound, and accessibility for people outside the duchy. 

 

Abstrak

Langendriyan merupakan kesenian yang mulanya tumbuh di Yogyakarta, tetapi berkembang secara khusus menjadi kesenian khas dan kebanggaan Kadipaten Mangkunegaran. Kesenian ini merupakan seni tari yang memiliki ciri khas pada perpaduan unsur gerak dan unsur suara. Langendriyan yang berkembang di Mangkunegaran kemudian disebut dengan Langendriyan
gaya Mangkunegaran yang lahir di era Mangkoenagoro IV. Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana pasang surut Langendriyan di era kepemimpinan Mangkoenagoro V hingga Mangkoenagoro VII. Artikel ini
menggunakan metode sejarah dan metode kualitatif. Sumber yang digunakan adalah sumber-sumber primer serta jurnal dan buku yang relevan dengan artikel. Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa langendriyan telah mengalami perubahan dalam perkembangan yang menyesuaikan keadaan internal dan terutama eksternal kadipaten. Pada era Mangkoenagoro
V, langendriyan mengalami pembaruan pada susunan tari serta busana. Lalu di era Mangkoenagoro VI, langendriyan meredup akibat kondisi internal dan eksternal kadipaten yang tidak stabil. Langendriyan kembali berjaya di era Mangkoenagoro VII ketika terjadi pembaruan signifikan pada susunan tari, gerak, suara, hingga aksesibilitas bagi masyarakat di luar kadipaten.

References

Artikel dan Buku
Ardhi, Fahmi, dkk (2021). Mangkunegoro VI: Sang Reformis. Jakarta: Kompas.
Brakel-Papenhuyzen, Clara (1992). ‘Of Sastra, Penget and Pratelan: The Development of Javanese Dance Notation’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 148, 1: 3–21.
Ferdiyanah, Serly (2017). ‘Peranan Mangkunegara VII dalam Mengembangkan Kebudayaan Jawa 1918–1942), Avatara: Jurnal Pendidikan Sejarah 5, 2: 309–327.
Haryono, Sutarno (2014). ‘Sastra Tembang pada Kontesktual Adegan Damarwulan sebagai Penguasa Majapahit dalam Tari Langendriyan’, Greget: Jurnal ISI Surakarta 13, 1: 75–90.
_______________ (2012). ‘Implementasi Konsep Langendriya Mandraswara terhadap Seniman Muda’, Jurnal Seni dan Budaya Panggung 22, 1: 94–106.
Hastanto, Sri (1983–1984). ‘Tembang Macapat in Central Java’, Proceedings of the Royal Musical Association 110, 118–127.
Het Comite Voor Het Triwindoe-Gedenkboek Secretariaat. ‘Het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII (1939)’. Soerakarta: Committee voor Triwindoe Gedenkboek.
Kartomi, Margaret (1990). ‘Music in Nineteenth Century Java: A Precursor to the Twentieth Century’, Journal of Southeast Asian Studies 21, 1: 1–34.
Musyafa, Mokhammad Fadhil (2021). ‘Sinar Surya dari Balik Pare Muda: Peran KGPAA Mangkunegaran VII dalam Pendidikan Keagamaan Islam di Mangkunegaran Tahun 1916–1944, Al-Isnad: Jurnal of Islamic Civilization History and Humanities 2, 1: 1–81.
Ross, Laurie Margot & Didik Nini Thowok (2005). ‘Mask, Gender, and Performance in Indonesia: An Interview with Didik Nini Thowok’, Asian Theatre Journal 22, 2: 214–226.
Susanto (2023). Kanonisasi Budaya: Masyarakat Indis Surakarta di Tengah Arus Pergolakan Budaya. Surakarta: Selak Lali.
Susilo, Hardja (1979). ‘The Javanese Court Dance’, The World of Music 21, 1: 90–102.
Sutton, R. Anderson (1984). ‘Who Is the Pesindhen? Notes on the Female Singing Tradition in Java’, Cornell University Press: Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 37: 118–133.
Thandakusuma (1939). Langendriya Mandraswara. Batavia-Centrum: Bale Poestaka.
Wardhana, Adi, dkk (2019). ‘Cultural Revivalism of Mangkunegara VII and the Islamism Discourse in the Early 20th Century’, Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 20, 1: 123–146.
Witasari, Nina (2019). ‘New Forestry Politics of Mangkunegara VII, 1911–1942’, Proceedings of the 1st International Conference on Environment and Sustainability Issues, ICESI 2019.

Skripsi
Aris, Aminudin. (2010). Krisis Ekonomi pada Masa Mangkunegara V (1881–1896). Skripsi. (Surakarta: Universitas Sebelas Maret).
Setiawan, Andri. (2019). Selendang, Wayang, dan Gamelan: Kehidupan Kesenian Jawa di Praja Mangkunegaran Masa Mangkunegara VII Tahun 1916–1942. Skripsi. (Surakarta: Universitas Sebelas Maret).
Supriyanto, Mathias. (1947). Langendriyan Mangkunegaran. Skripsi Sarjana Muda. (Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia).
Published
2023-11-22
Section
Articles