HISTMA https://journal.ugm.ac.id/v3/histma en-US <p><span style="font-weight: 400;">By publishing articles in the </span><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;">, author(s) agree to transmit the publication right to </span><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;"> under the </span><a href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/"><span style="font-weight: 400;">Creative Commons</span></a><span style="font-weight: 400;">. Thus, you are allowed to access, copy, transform and redistribute the articles under any lawful purposes by giving proper credit to the original author(s) and </span><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;"> as well.</span></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">Histma</span></em><span style="font-weight: 400;"> uphold the rights to store, convert or reformat media, manage within its database, maintain and publish article without the consent of the author with full acknowledgement of author rights as copyright owner.</span></p> <p><span style="font-weight: 400;">The article is published in print and electronic form. The electronic form is open access for the purpose of education and research.</span></p> adwidya.s.yoga@mail.ugm.ac.id (Yoga Adwidyavvvv) Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 OJS 3.1.2.0 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 Pengantar Redaksi https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10890 Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10890 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Melintasi Gerbang Kreativitas: Langendriyan pada Era Mengkoenagoro V Hingga Mangkoenagoro VII https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10879 <p><em>Abstract</em></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">Langendriyan is an art that originally grew in Yogyakarta, but developed specifically into a distinctive art and pride of the Mangkunegaran Duchy. This art is a dance that is characterized by the combination of movement and sound elements. Langendriyan that developed in Mangkunegaran was then called Langendriyan Mangkunegaran style which was born in the era of Mangkoenagoro IV. The purpose of this article is to find out how the ups and downs of Langendriyan in the leadership era of Mangkoenagoro V to Mangkoenagoro VII. This article uses historical methods and qualitative methods. The sources used are primary sources as well as journals and books relevant to the article. From the research that has been done, it is known that langendriyan has undergone changes in development that adjust the internal and especially external circumstances of the duchy. In the era of Mangkoenagoro V, langendriyan experienced updates in dance composition and clothing. Then in the era of Mangkoenagoro VI, langendriyan faded due to the unstable internal and external conditions of the duchy. Langendriyan triumphed again in the era of Mangkoenagoro VII when there were significant updates in dance composition, movement, sound, and accessibility for people outside the duchy.&nbsp;</span></em></p> <p>&nbsp;</p> <p>Abstrak</p> <p>Langendriyan merupakan kesenian yang mulanya tumbuh di Yogyakarta, tetapi berkembang secara khusus menjadi kesenian khas dan kebanggaan Kadipaten Mangkunegaran. Kesenian ini merupakan seni tari yang memiliki ciri khas pada perpaduan unsur gerak dan unsur suara. Langendriyan yang berkembang di Mangkunegaran kemudian disebut dengan Langendriyan<br>gaya Mangkunegaran yang lahir di era Mangkoenagoro IV. Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana pasang surut Langendriyan di era kepemimpinan Mangkoenagoro V hingga Mangkoenagoro VII. Artikel ini<br>menggunakan metode sejarah dan metode kualitatif. Sumber yang digunakan adalah sumber-sumber primer serta jurnal dan buku yang relevan dengan artikel. Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa langendriyan telah mengalami perubahan dalam perkembangan yang menyesuaikan keadaan internal dan terutama eksternal kadipaten. Pada era Mangkoenagoro<br>V, langendriyan mengalami pembaruan pada susunan tari serta busana. Lalu di era Mangkoenagoro VI, langendriyan meredup akibat kondisi internal dan eksternal kadipaten yang tidak stabil. Langendriyan kembali berjaya di era Mangkoenagoro VII ketika terjadi pembaruan signifikan pada susunan tari, gerak, suara, hingga aksesibilitas bagi masyarakat di luar kadipaten.</p> Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10879 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Lenyap Karena Perang: Kunts Ambachtsshool dan Pendidikan Seni Kerajinan di Indonesia pada 1939-1941 https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10880 <p><strong><em>Abstract</em></strong></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">This article discusses the development of the Kunst Ambachtsschool, also known as Sedyaning Piwoelang Angesti Boedi. A craft-focused art high school founded by Java Instituut in 1939. The establishment of this school marked the importance of art as something that could become the identity of society, a reflection of social reality and the spirit of the times. It is not enough for art to be passed down only through oral tradition. This includes the art of craftsmanship, which also needs to be passed on through practical activities and requires special skills in the process. The school is located in the same complex as the Sonoboedojo (Sonobudoyo) Museum, which also has a dormitory and sales center. The students in this school were not only from Java but also from Madura and Bali. Furthermore, the students were educated to acquire skills in gold, silver, and wood carving, with the duration of the course being two years. In its development, learning materials were not only limited to art; students were also taught about marketing, which was the output of this craft art product. After approximately three years, the school was closed due to the polemics of World War II after Japan took control of the Dutch East Indies.</span></em></p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p><span style="font-weight: 400;">Artikel ini membahas mengenai perkembangan </span><span style="font-weight: 400;">Kunst Ambachtsschool </span><span style="font-weight: 400;">atau yang juga dikenal&nbsp; dengan</span><span style="font-weight: 400;"> Sedyaning Piwoelang Angesti Boedi</span><span style="font-weight: 400;">. Sebuah sekolah tinggi kesenian yang berfokus&nbsp; pada seni kerajinan dan didirikan oleh Java Instituut pada 1939. Berdirinya sekolah ini&nbsp; menandai betapa pentingnya seni sebagai suatu hal yang dapat menjadi identitas masyarakat,&nbsp; sekaligus refleksi dari kenyataan sosial dan jiwa zaman pada masanya. Seni tidak cukup apabila diwariskan hanya melalui tradisi lisan. Termasuk dalam hal ini seni kerajinan yang juga perlu diwariskan melalui kegiatan praktik yang membutuhkan keterampilan khusus dalam pengerjaannya. Sekolah ini berada dalam satu kompleks dengan Museum </span><span style="font-weight: 400;">Sonoboedojo </span><span style="font-weight: 400;">&nbsp;(Sonobudoyo) yang juga memiliki asrama dan pusat penjualan. Siswa yang ada di sekolah ini tidak hanya dari Jawa, melainkan juga dari Madura dan Bali. Selain itu, siswa dididik agar memiliki keterampilan dalam pengukiran emas, perak, dan kayu dengan lama kursusnya adalah dua tahun. Pada perkembangannya, materi pembelajaran tidak hanya terbatas pada kesenian, siswa pun diajarkan tentang </span><span style="font-weight: 400;">marketing </span><span style="font-weight: 400;">yang menjadi </span><span style="font-weight: 400;">output </span><span style="font-weight: 400;">dari produk seni kerajinan ini. Setelah kurang lebih tiga tahun berdiri, sekolah tersebut ditutup karena adanya polemik Perang Dunia II setelah Jepang berhasil menguasai wilayah Hindia Belanda.</span></p> Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10880 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Bangkit Setelah Polemik: Industri Perfilman di Indonesia pada Masa Awal Orde Baru https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10881 <p><strong><em>Abstract</em></strong></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">The film industry in Indonesia has existed since the Dutch East Indies. However, the topic of native life has not been the focus of these films. Entering the post-independence period, the film industry in Indonesia experienced development. However, it experienced a decline again during the events of September 30, 1965. In the 1970s, the film industry in Indonesia began to rise and develop. This research will explore how the film industry developed in Indonesia in the New Order era. In addition, it will also discuss the figures who played a role in the development of the film industry in Indonesia during that period. The main sources used in this research are archives and contemporaneous newspapers. Books and articles that have relevance to the research topic are also used in this research, and are complemented by sources from interviews with Akhlis Suryapati.</span></em></p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p><span style="font-weight: 400;">Industri perfilman di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa Hindia Belanda. Namun topik mengenai kehidupan kaum bumiputra belum menjadi fokus pada film-film tersebut. Memasuki periode pasca-Kemerdekaan, industri perfilman di Indonesia mengalami perkembangan. Namun industri perfilman mengalami penurunan kembali pada saat terjadi peristiwa 30 September 1965. Pada 1970-an, industri perfilman di Indonesia mulai bangkit dan berkembang. Penelitian ini akan mengeksplorasi bagaimana perkembangan industri perfilman di Indonesia pada awal masa Orde Baru. Selain itu, penelitian ini akan membahas mengenai tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan industri film di Indonesia pada periode tersebut. Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu arsip dan surat kabar sezaman. Buku dan artikel yang memiliki relevansi dengan topik penelitian juga digunakan dalam penelitian ini, serta dilengkapi dengan sumber hasil wawancara dengan Akhlis Suryapati.</span></p> Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10881 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Komedie Stamboel: Modernisasi Seni Pertunjukan di Indonesia pada Akhir Abad XIX https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10882 <p><strong><em>Abstract</em></strong></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">Komedie Stamboel has been associated with Eurasians and Chinese since its inception. However, Komedie Stamboel quickly transformed into the "general culture" of the Dutch East Indies. This was due to the correlation between luck, personal ambition, creativity, and community development. The troupe brought great diversity to the stage with its audiences. Komedie Stamboel became a theater in its own right that could be beyond the ownership of any particular ethnicity or race. Auguste Mahieu will always be the main character in any discussion of Komedie Stamboel. Mahieu began his studies at the famous Citizens' College in Surabaya. However, the most formative experience of this period was probably his contact with European-related arts. Komedie Stamboel had a considerable influence in the process of entering the Modern theater period in Indonesia. In fact, it can be said that the emergence of Komedie Stamboel was the first step of the modern theater period. This research article will discuss the development of Komedie Stamboel in the history of Indonesian theater.</span></em></p> <p>&nbsp;</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p><span style="font-weight: 400;">Komedie Stamboel dikaitkan dengan orang-orang Eurasia dan Cina sejak awal pendiriannya. Akan tetapi, Komedie Stamboel dapat berubah menjadi "budaya umum" Hindia Belanda dengan cepat. Hal tersebut disebabkan adanya korelasi antara keberuntungan, ambisi pribadi, kreativitas, dan pengembangan masyarakat. Rombongan teater ini kemudian membawa keragaman besar di panggung pementasan dengan para penontonnya. Komedie Stamboel menjadi teater sendiri yang dapat di luar kepemilikan etnis atau ras tertentu. Auguste Mahieu akan selalu menjadi tokoh utama dalam setiap pembahasan Komedie Stamboel. Mahieu mulai belajar di Sekolah Tinggi Warga yang terkenal di Surabaya. Namun, pengalaman paling formatif dari periode ini mungkin adalah kontaknya dengan seni-seni yang berhubungan dengan Eropa. Komedie Stamboel memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses memasuki masa teater Modern di Indonesia. Bahkan, bisa dibilang bahwa kemunculan Komedie Stamboel menjadi langkah awal dari adanya masa teater modern. Pada artikel penelitian ini akan membahas mengenai perkembangan Komedie Stamboel di dalam sejarah per-teater-an Indonesia. Penelitian ditulis dengan melakukan studi literatur pada karya yang memiliki relevansi dengan topik yang dipilih.</span></p> Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10882 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Prostitusi Berbalut Seni: Penari Taledhek dalam Pertunjukan Tayuban pada Abad XIX-XX https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10883 <p><strong><em>Abstract</em></strong></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">Tayuban is one of the folk arts that grew in rural Java. Tayuban is a paired dance between a female dancer (taledhek) and a male dancer (penayub). At first, tayub was part of community rituals, such as in bersih desa, agricultural, and marriage ceremonies. However, in the early 19th century, tayub transitioned into a social dance that was often associated with prostitution. Taledhek dancers were treated as sexual objects for men and were involved in prostitution. This is interesting to be studied considering that research on prostitution in art is quite rare. Therefore, this study aims to describe the emergence of prostitution in Tayuban, the position of taledhek as an object of prostitution, and the response of society in terms of the practice. Based on contemporaneous sources, it was found that the villagers accepted the existence of taledhek in their neighborhood. A different reaction came from Europeans and Javanese priyayi who considered them as vulgar in the early 20th century. As a result, tayuban was sophistified in favor of performances that followed the norms of modesty.</span></em></p> <p>&nbsp;</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p><span style="font-weight: 400;">Tayuban merupakan salah satu kesenian rakyat yang berkembang di pedesaan Jawa. Kesenian tayub berbentuk tari berpasangan antara penari perempuan (taledhek) dan penari laki-laki (penayub). Awalnya, tayub menjadi bagian dari ritual masyarakat, seperti dalam upacara bersih desa, pertanian, dan perkawinan. Namun, di awal abad ke-19, tayub mengalami pergeseran fungsi menjadi tari pergaulan yang sering diasosiasikan dengan pelacuran. Penari taledhek pun diperlakukan sebagai objek hiburan bagi laki-laki dan terlibat dalam prostitusi. Hal tersebut menarik untuk dikaji mengingat penelitian tentang prostitusi dalam seni cukup jarang ditemui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan kemunculan prostitusi dalam tayuban, posisi taledhek sebagai objek pelacuran, serta respon masyarakat dalam menyikapi praktik tersebut. Berdasarkan sumber-sumber sezaman, kajian ini menemukan bahwa masyarakat desa menerima keberadaan taledhek dalam lingkungannya. Reaksi yang berbeda justru datang dari orang-orang Eropa dan priyayi Jawa yang menganggap mereka terlalu vulgar di awal abad ke-20. Akibatnya, tayuban disofistifikasi demi berjalannya pertunjukan yang sesuai dengan norma-norma kesopanan.</span></p> Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10883 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Lengger Langgar Belenggu Orde Baru: Penari Laki-laki dalam Pertunjukkan Lengger di Banyumas 1970-an–1998 https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10884 <p><strong><em>Abstract&nbsp;</em></strong></p> <p><em><span style="font-weight: 400;">This paper aims to explore the presence of male dancers in Lengger art in Banyumas in the 1970s to 1998 and the community's response to male dancers who look feminine in Lengger art in Banyumas in the 1970s to 1998. This research uses the historical research method according to Kuntowijoyo, namely: topic selection, source collection, verification, interpretation, and writing. The results of the study explain that Lengger is an art form that expresses gratitude for a gsuccessful harvest using gender roles and a unique appearance, but its popularity was hampered by the political shackles of the New Order. Banyumas artists are slowly reviving Lengger so that this art is not extinct.</span></em></p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Abstrak&nbsp;</strong></p> <p><span style="font-weight: 400;">Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi kehadiran penari laki-laki&nbsp; pada kesenian Lengger di Banyumas pada 1970-an sampai 1998 dan respons&nbsp; masyarakat terhadap penari laki-laki yang berpenampilan feminim dalam kesenian&nbsp; Lengger di Banyumas pada 1970-an sampai 1998. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah menurut&nbsp; Kuntowijoyo, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi,&nbsp; interpretasi, penulisan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Lengger&nbsp; merupakan kesenian yang mengekspresikan rasa syukur akan keberhasilan panen&nbsp; dengan menggunakan peran gender dan tampilan yang unik, namun sempat&nbsp; terhambat kepopulerannya karena belenggu politik Orde Baru. Dengan perlahan&nbsp; para seniman Banyumas membangkitkan kembali Lengger sehingga kesenian ini&nbsp; tidaklah punah</span></p> Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10884 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Menari di Atas Kuburan Massal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pascagenosida https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10885 Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10885 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700 Mikke Susanto: Banyak Jalan Menghadirkan Sejarah https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10889 <p><span style="font-weight: 400;">Kuntowijoyo mendefinisikan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi masa lalu.</span><span style="font-weight: 400;"> Medium rekonstruksi masa lalu, atau historiografi, secara umum kerap dimaknai sebatas melalui tulisan, baik itu tulisan akademik maupun populer. Padahal, ada cara lain yang dapat dieksplorasi guna mengisi celah kekurangan dari tulisan sejarah, misalnya seni. Cara itu kini ditempuh oleh Mikke Susanto, seorang kurator sekaligus dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia menggabungkan sejarah dan seni ke dalam bentuk pameran sejarah dan sudah berulang kali menjadi kurator untuk pameran objek-objek sejarah. HISTMA berkesempatan mewawancarai Mikke pada 30 Agustus 2023. Berikut adalah wawancara selengkapnya.</span></p> Copyright (c) https://journal.ugm.ac.id/v3/histma/article/view/10889 Wed, 22 Nov 2023 00:00:00 +0700