Pendidikan Inklusi pada Anak Berkebutuhan Khusus “Tunadaksa”
Abstract
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kalainan atau penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial-emosional) dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendidikan inklusi pada anak tunadaksa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode wawancara, observasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Ciri ciri sosial inidvidu tuna daksa adalah, biasanya mereka kurang memiliki akses pergaulan yang luas karena keterbatasan aktifitas geraknya. Terkadang menunjukkan sikap yang penuh emosi (marah-marah) yang berlebihan tanpa sebab yang jelas dan merasa frustasi serta merasa berbeda dengan yang lain. Efek tidak langsung dari Tunadaksa yang dialami seseorang dapat menimbulkan sikap harga diri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif atau mematikan kreatifitasnya. Terdapat 3 (tiga) jenis kelas di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surakarta, yaitu: (1) SLB-D (penyandang cacat tubuh), (2) SDB-D1 (penyandang cacat tubuh disertai cacat mental), dan (3) Inklusi (kurikulum sesuai Direktorat PSLB Departemen Pendidikan Nasional, sebelum penjurusan kelas terdapat Tes IQ yang harus diikuti oleh calon siswa. Selain itu, juga terdapat ekstrakurikuler yang dapat diikuti antara lain pramuka, kesenian, kepustakaan, musik, olahraga, komputer, tata boga, membatik, serta tata rias. Hambatan utama yang dialami oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di YPAC Surakarta adalah mengenai mobilitas yang terbatas untuk mempelajari lingkungan sekitar. Solusinya dengan mengoptimalkan peran para tentor untuk mengakomodasi hal-hal yang dibutuhkan oleh ABK.