https://journal.ugm.ac.id/v3/jka/issue/feedJurnal Komplikasi Anestesi2024-11-26T15:15:13+07:00Dr. dr. Sudadi Sp.An., KNA., KAR.jka.jogja@gmail.comOpen Journal Systems<table style="height: 233px;" width="681"> <tbody> <tr> <td width="151"> <p><img src="/v3/public/site/images/adminjka/favicon_en_US12.png"></p> </td> <td width="450"> <p>JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI (<a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/1520308325" target="_blank" rel="noopener"><strong>e-ISSN 2615-5818</strong></a>) is a <strong>scientific</strong> and <strong>original</strong> journal which published as a forum for various scientific articles including research, literature reviews, case reports and recent book reviews. The presence of this journal, it is hoped that it can provide input of knowledge and knowledge in the field of Anesthesiology and Intensive Therapy for medical personnel.</p> </td> </tr> </tbody> </table> <p> </p>https://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/15968EFFICACY OF PREEMPTIVE ANALGESIC KETAMINE ON POSTOPERATIVE PAIN AT UNIVERSITAS GADJAH MADA ACADEMIC HOSPITAL2024-11-26T15:15:13+07:00David Ferdiansyahdavidanestesi@gmail.comMahmudmahmudfaridy@gmail.comDjayanti Sarijayantisari@ugm.ac.id<p><strong>Background:</strong> Postoperative pain remains a problem in anesthesia services. Preemptive analgesics are known to reduce postoperative pain due to noxious stimuli during the perioperative period. Ketamine can be used as a preemptive analgesic because it has the ability to prevent central sensitization. However, studies on ketamine as a preemptive analgesic have not reached a conclusion. So further research is needed to prove the effectiveness of ketamine as a preemptive analgesic<br><strong>Objective:</strong> This study aims to evaluate the efficacy of preemptive intravenous ketamine 0.5 mg/kgBW in reducing postoperative pain.<br><strong>Method:</strong> This research is an experimental study with double-blind randomized controlled trials. The inclusion criteria for this study are oncology surgery patients, aged 18-65 years, ASA physical status 1 or 2, BMI 18-30, and willing to sign informed consent. Exclusion criteria include patients with contraindications to ketamine, chronic pain, long-term analgesic consumption, hypertension, diabetes mellitus, cerebrovascular disease, and a history of recurrent malignancy. Meanwhile, withdrawal criteria include withdrawing from the study and experiencing ketamine hypersensitivity. The research sample is randomly divided into 2 groups, namely Group A (ketamine preemptive) and Group B (control). Both groups receive the same anesthesia procedure, namely premedication with intravenous midazolam 0.05 mg/kg body weight (BW), fentanyl 2 mcg/kg BW intravenously, rocuronium 0.6 mg/kg BW intravenously (if intubation is performed), then after a confirmed onset, the LMA (laryngeal mask airway) or ETT (endotracheal tube) airway device is inserted. After that, for Group A, preemptive analgesic ketamine 0.5 mg/kg BW intravenously is administered 10 minutes before<br>surgical incision. The assessment performed is pain scale using the numerical rating scale (NRS) at rest and with movement, total intraoperative rescue fentanyl, total postoperative rescue fentanyl requirement, onset of postoperative rescue fentanyl requirement, and side effects. Observation is conducted for up to 12 hours postoperatively. All variables except side effects are analyzed with independent t-tests, but if the data distribution is not evenly spread, the Mann-Whitney test is conducted. The confidence interval in this study is 95%, with significance set at p < 0.05.<br><strong>Results:</strong> A total of 65 subjects were studied, but 3 subjects dropped out of the study. Therefore, 62 subjects remained, with 31 subjects in each Group A and B. Statistically, Group A had lower NRS pain scores at rest compared to Group B at hours 0, ½, 1, and 2 postoperatively (p<0.05). For NRS on movement, Group A had lower NRS pain scores compared to Group B at hours 0, ½, 1, 2, 6, and 12 postoperatively (p<0.05). Group A had a longer onset of postoperative rescue fentanyl requirement compared to Group B (p<0.05). However, there was no significant difference in total intraoperative rescue fentanyl and total postoperative rescue fentanyl requirement (p>0.05).<br><strong>Conclusion:</strong> Preemptive ketamine analgesic dose of 0.5 mg/kgBW intravenously is effective in reducing postoperative pain better than the control group. This is evidenced by lower NRS pain scores at rest and on movement, as well as a longer onset of postoperative rescue fentanyl requirement compared to the control group.</p>2024-11-26T13:49:27+07:00Copyright (c) 2024 David Ferdiansyah, Mahmud, Djayanti Sarihttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/14973Quadratus Lumborum Block as Intraoperative Analgesic Treatment in Pediatric with Hirschprung’s disease2024-11-26T14:08:28+07:00Pita Mora Lesmanainfofk@unud.ac.idMarilaeta Cindryani Ra Ratumasainfofk@unud.ac.idI Made Subagiarthasubagiartha@unud.ac.idTjokorda Gde Agung Senapathitjoksenapathi@unud.ac.id<p><strong>Ikhtisar:</strong> Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang didiagnosis menderita penyakit Hirschsprung sejak lahir akan menjalani prosedur Duhamel. Secara internasional, prevalensi penyakit Hirschsprung adalah sekitar 1 dari 1.500 hingga 1 dari 7.000 kelahiran hidup dan biasanya memerlukan intervensi segera melalui prosedur bedah. Durasi operasi yang panjang menjadi tantangan unik bagi ahli anestesi yang bertujuan untuk meminimalkan penggunaan opioid, mengingat efek yang kurang diinginkan pada populasi pasien ini. Dalam kasus ini, kami memilih untuk menggunakan blok quadratus lumborum (QLB) sebagai analgesia intraoperatif. Ini merujuk pada meta-analisis oleh Wen-li Zhao dkk, yang semuanya menyarankan bahwa blok QL menawarkan terapi nyeri yang lebih efektif pada anak-anak yang menjalani operasi perut bagian bawah.</p> <p><strong>Manajemen:</strong> Setelah pasien diintubasi, kami melakukan blok quadratus lumborum menggunakan pendekatan anterior di kedua sisi sebagai teknik analgesia intraoperatif pada pasien ini. Anestesi lokal yang digunakan adalah ropivakain 0,375% + deksametason 4 mg, volume 10 ml terbagi di kedua sisi kanan dan kiri. Dermatom yang tercover oleh blok QL anterior meliputi T4 hingga T12-L1, memblokir cabang-cabang kutaneus anterior dan lateral dari saraf.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Tidak ada dosis opioid tambahan yang diberikan selama prosedur bedah.</p> <p><strong>Kesimpulan:</strong> Blok Quadratus Lumborum pada pasien pediatrik cukup efektif digunakan untuk menangani nyeri selama tindakan operasi Duhamel.</p>2024-11-26T14:08:28+07:00Copyright (c) 2024 Pita Mora Lesmana, Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa, I Made Subagiartha, Tjokorda Gde Agung Senapathihttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/14646Pertimbangan Khusus Pemberian Nutrisi Enteral pada Pasien ICU Non-ARDS dengan Posisi Prone Jangka Panjang2024-11-26T14:09:08+07:00Ika Cahyo Purnomoikacahyopurnomo@mail.ugm.ac.idAhmad Yun Jufanjufan@ugm.ac.id<p><strong>Latar Belakang</strong>: Nutrisi enteral (EN) direkomendasikan diberikan secara dini pada pasien dengan sakit kritis untuk mengurangi komplikasi. Namun, masih ada keraguan bagi para klinisi ketika memberikan EN dalam posisi prone. Kami melaporkan kasus pasien non-ARDS dengan perawatan jangka panjang dalam posisi prone yang menerima EN.</p> <p><strong>Kasus</strong>: Seorang pria berusia 18 tahun, kuadriplegik, menjalani fiksasi internal vertebra cervical dan flap gluteal. Pasca operasi, pasien dipertahankan dalam posisi prone selama 10 hari. Analgesik pada pasien ini diberikan tramadol dan NSAID. Posisi dan patensi NGT dilakukan pengecekan sebelum pemberian nutrisi dimulai. Tempat tidur ditinggikan di bagian kepala 30º dan EN diberikan secara berkala setiap 4 jam, diikuti dengan pemeriksaan GRV dalam 2 jam. Asupan ditingkatkan secara bertahap pada setiap pemberian nutrisi. Pasien dipindahkan keluar ICU setelah 48 jam. penatalaksanaan selanjutnya juga dilakukan dalam posisi prone.</p> <p><strong>Diskusi</strong>: Gangguan toleransi nutrisi dan pergeseran letak NGT sering ditemui pada pemberian EN pada pasien prone. Patensi selang dan pemeriksaan posisi sangat penting sebelum pemberian nutrisi. Toleransi terhadap nutrisi yang diberikan, GRV, dan keluhan atau tanda adanya muntah harus dipantau ketat. Dalam pemantauan tersebut, hingga saat ini belum ada rekomendasi untuk penggunaan USG. Kemiringan tempat tidur bertujuan untuk juga membantu proses pencernaan sesuai gravitasi. Prokinetik dan pemberian nutrisi dengan pompa tidak dilakukan pada pasien ini. Toleransi terhadap diit sangat baik, tidak ditemukan komplikasi dalam penatalaksanaan nutrisi.</p> <p><strong>Kesimpulan</strong>: Pemberian EN pada posisi prone cukup menantang dan diperlukan perhatian khusus, namun temuan mendukung bahwa pemberian EN layak dilakukan dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien kritis yang dirawat dengan posisi prone.</p>2024-11-26T14:09:08+07:00Copyright (c) 2024 Ika Cahyo Purnomo, Ahmad Yun Jufanhttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/14651SERIAL KASUS EKSTUBASI FAST-TRACK PADA BEDAH JANTUNG TERBUKA2024-11-26T14:10:43+07:00Paramita Putri Hapsarianestesi.fkkmk@ugm.ac.idBhirowo Yudo Pratomobhirowo@ugm.ac.idBambang Novianto Putrobhirowo@ugm.ac.id<p>Ekstubasi <em>fast-track</em> (FTE) telah terbukti menurunkan insidensi penggunaan ventilasi mekanik yang berkepanjangan sehingga hal ini akan mempersingkat durasi hospitalisasi, menurunkan angka mortalitas, morbiditas dan pembiayaan rumah sakit. Kami menyajikan serial kasus ekstubasi <em>fast-track</em> pada bedah jantung terbuka yang melibatkan dua orang perempuan, usia 31 dan 33 tahun, dengan defek septum atrium dan seorang laki laki, usia 33 tahun, dengan defek septum ventrikel yang dilakukan operasi tutup defek. Semua pasien dalam kondisi klinis yang baik dengan fungsi biventrikular normal dan risiko hipertensi paru yang rendah. Prosedur anestesi dan bedah berjalan lancar dengan durasi penggunaan mesin pintas jantung paru < 90 menit, durasi klem silang aorta < 60 menit, tidak terdapat pirau residual, kadar laktat dan analisis gas darah cukup optimal, hemodinamik stabil dengan topangan agen vasoaktif dosis rendah, serta analgesia yang adekuat. Kami menjalankan protokol ekstubasi <em>fast-track</em> dan berhasil melakukan ekstubasi pada semua pasien di kamar bedah. Pasien kemudian ditransfer ke ruang perawatan intensif (ICU) untuk mendapatkan manajemen paska operasi. Total durasi rawat inap di ICU < 24 jam, dimana hal ini menunjukkan keamanan dan efektivitas FTE untuk prosedur jantung sederhana dengan hasil yang baik. Pendekatan ini bertujuan untuk mempercepat pemulihan pasien, mengurangi komplikasi, dan meningkatkan hasil operasi secara keseluruhan.</p>2024-11-26T14:10:43+07:00Copyright (c) 2024 Paramita Putri Hapsari, Bhirowo Yudo Pratomo, Bambang Novianto Putrohttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/15154Severe Respiratory Distress after C Section Due to Hypertension-Related Pulmonary Edema : A Case Report2024-11-26T14:12:03+07:00Achmad Ma’ruf Fauziachmadmaruffauzi@gmail.comIndra Kusumaachmadmaruffauzi@gmail.com<p><strong>Latar Belakang</strong> Edema paru merupakan komplikasi kehamilan yang sangat jarang terjadi. Hal ini lebih sering dilihat sebagai komplikasi preeklamsia. Fisiopatologi hubungan ini belum dipahami dengan baik. Ini adalah kondisi yang mengancam jiwa yang memerlukan perawatan segera dan penghentian kehamilan.</p> <p><strong>Presentasi Kasus</strong> Kami menyajikan kasus seorang wanita berusia 24 tahun yang mengalami preeklamsia, dengan komplikasi edema paru (pe) disertai gagal jantung setelah operasi caesar elektif dengan anestesi spinal pada kehamilan pertamanya. Di Intensive Care Unit (ICU) pasien pertama mendapat menggunakan ventilasi non-invasif (niv), setelah enam jam menggunakan niv saturasi oksigen turun, dan beralih menggunakan intubasi ventilator, menggunakan hight peep ARDS NET.</p> <p><strong>Diskusi</strong> Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan oksigenasi yang buruk dan paru-paru yang tidak patuh atau “kaku”. Kelainan ini berhubungan dengan cedera endotel kapiler dan kerusakan difus alveolar. Banyak mekanisme yang telah dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis edema paru pada preeklamsia termasuk hipervolemia, kegagalan ventrikel kiri, dan kebocoran kapiler paru.</p> <p><strong>Kesimpulan</strong> Edema paru merupakan suatu kegawatdaruratan yang dapat terjadi pada kehamilan dengan preeklamsia yang mempunyai angka kematian yang tinggi jika tidak segera ditangani. Skrining dini dan terapi yang memadai dapat meningkatkan hasil akhir pasien.</p> <p> </p>2024-11-26T14:12:03+07:00Copyright (c) 2024 Achmad Ma’ruf Fauzi, Indra Kusumahttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/15618Sebuah COST EFFECTIVENESS ANALYSIS 2024-11-26T14:12:29+07:00Krisna Hario Adiyatmakrisnahario@yahoo.comMahmudmahmudfaridy@gmail.comSUDADIdsudadi@gmail.comCalcarina Fitriani Retno Wisudartiwisudarti@yahoo.comDjayanti Sarijayantisari@yahoo.comDiah Ayu Puspandaridiah.ayu.puspandari@ugm.ac.id<p><strong>Latar Belakang : </strong>Salah satu komplikasi paska operasi yang sering terjadi yaitu nyeri, yang dialami oleh lebih dari 80% pasien dan 75% diantaranya mengalami nyeri paska operasi dengan intensitas moderat hingga berat. Operasi abdominal mayor merupakan salah satu prosedur operasi dengan intensitas nyeri paska operasi moderat hingga berat. Strategi pendekatan analgetik yang sering digunakan adalah opioid intravena dan epidural analgesia. Epidural analgesia dianggap sebagai terapi analgetik pilihan untuk paska operasi abdominal mayor, namun dengan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan opioid intravena. Adanya perbedaan rute pemberian, efikasi dan profil efek samping menjadikan penilaian efektivitas biaya antara kedua pendekatan penting untuk dilakukan sebagai bagian manajemen kendali mutu dan biaya Rumah Sakit.</p> <p><strong>Tujuan : </strong>Mengetahui <em>cost effectiveness </em>analgesia epidural dibandingkan dengan opioid intravena sebagai anti nyeri paska operasi abdominal mayor.</p> <p><strong>Metode : </strong>Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan <em>decision tree analysis </em>untuk menilai <em>outcome </em>klinis dan estimasi biaya pada dua alternatif terapi. Sampel penelitian diambil secara retrospektif dari bulan September – Desember 2022 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, secara <em>simple random sampling. </em>Nilai <em>Incremental Cost Effectiveness Ratio </em>(ICER) dinilai dan <em>Probabilistic Sensitivity Analysis </em>(PSA) dilakukan dengan simulasi <em>Monte Carlo </em>menggunakan <em>Microsoft Excel®</em>.</p> <p><strong>Hasil : </strong>Analgesia epidural sebagai anti nyeri paska operasi abdominal mayor memiliki nilai <em>Incremental Cost Effectiveness Ratio </em>(ICER) sebesar Rp 20.857.416/<em>pain free days. Probabilistic Sensitivity Analysis </em>(PSA) menghasilkan sebaran data dengan dominasi di kuadran 3 CEA <em>Plane. </em></p> <p><strong>Kesimpulan : </strong>Strategi epidural analgesia sebagai antinyeri paska operasi abdominal mayor merupakan strategi yang lebih murah namun dengan efektivitas yang sedikit lebih rendah dibandingkan opioid intravena di RSUP Dr. Sardjito. Epidural analgesia memiliki nilai ICER sebesar Rp 20.857.416/<em>pain free days</em>, berpeluang menjadi alternatif pilihan antinyeri paska operasi abdominal mayor yang bersifat <em>cost effective.</em></p>2024-11-26T14:12:29+07:00Copyright (c) 2024 Krisna Hario Adiyatma, Mahmud, SUDADI, Calcarina Fitriani Retno Wisudarti, Djayanti Sari, Diah Ayu Puspandarihttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/15625PENGARUH SEVERE CRITICAL EVENT PERIANESTESI TERHADAP MORTALITAS PASIEN PEDIATRI YANG MENJALANI PEMBIUSAN DI RSUP DR. SARDJITO2024-11-26T14:13:11+07:00Annika Napituannikanapitu@yahoo.comYunita Widyastutiyunita.widya@ugm.ac.idDjayanti Sarijayantisari@ugm.ac.id<p class="p1"><strong>Latar belakang: </strong><em>Severe critical event </em>atau kejadian cedera yang tidak diinginkan dan dapat dicegah pada pemberian anestesi yang memiliki angka insidensi lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Hal ini berkaitan dengan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi, emosional dan sosial pasien anak yang belum matang. Selain insidensinya yang lebih tinggi, mortalitas terkait <em>severe critical event </em>pada pasien anak juga lebih tinggi dibandingkan pasien dewasa. Secara umum, <em>severe critical event </em>pada pasien anak dikelompokan menjadi kejadian sulit jalan napas, kardiovaskular, dan kelalaian tenaga medis. Berdasarkan waktunya, kejadian-kejadian tersebut dapat terjadi sebelum anestesi, selama anestesi, serta pasca anestesi dengan persentase insidensi yang berbeda satu sama lain.<span class="Apple-converted-space"> </span></p> <p class="p1"><strong>Tujuan</strong>: Untuk mengetahui pengaruh antara <em>severe critical event </em>perianestesi yang meliputi bronkospasme, laringospasme, aspirasi pulmonar, stridor, croup, desaturasi, hipotensi, aritmia, perdarahan, henti jantung, anafilaksis, kerusakan saraf, <em>delayed emergence </em>dan <em>medication errors </em>terhadap mortalitas pada pasien pediatri.<span class="Apple-converted-space"> </span></p> <p class="p1"><strong>Metode</strong>: Penelitian ini menggunakan desain <em>prospective cohort</em>. Subjek penelitian adalah pasien pediatri yang menerima tindakan anestesi baik untuk tindakan bedah maupun non bedah di RSUP Dr. Sardjito dengan teknik <em>consecutive sampling. </em>Kriteria inklusi penelitian ini yaitu pasien anak <18 tahun yang dilakukan pembiusan atau sedasi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan kriteria eksklusi yaitu pasien yang tidak memiliki data lengkap. Adapun variabel yang diteliti yaitu <em>severe critical event </em>perianestesi yang meliputi bronkospasme, laringospame, aspirasi pulmonar, stridor, croup, desaturasi, hipotensi, aritmia, perdarahan, henti jantung, anafilaksis, kerusakan saraf, <em>delayed emergence </em>dan <em>medication errors </em>terhadap mortalitas pasien pediatri. Dilakukan analisis statistik untuk mengetahui pengaruh <em>severe critical event </em>terhadap mortalitas melalui analisis bivariat <em>chi square test </em>dan <em>mann whitney test </em>kemudian dilanjutkan analisis multivariat menggunakan regresi logistik pada variabel-variabel yang memiliki nilai p<0,25 pada uji bivariat. Nilai p<0,05 dianggap signifikan secara statistik<span class="Apple-converted-space"> </span></p> <p class="p1"><strong>Hasil</strong>: Dari 425 subjek penelitian didapatkan 70 kejadian <em>severe critical event </em>yang terjadi pada 39 pasien, dan tercatat 14 kasus berakhir dengan mortalitas. Analisis multivariat <em>severe critical event </em>menunjukkan bahwa laringospame (p=0,009; OR= 14,018; 95%CI= 1,920 – 102,323), henti jantung (p=0,009; OR= 43,165; 95%CI= 2,542 – 732,977), dan desaturasi (p=0,027; OR= 6,634; 95%CI= 1,228 – 35,550) merupakan <em>severe critical event </em>yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian mortalitas. Adapun hasil analisis multivariat dengan mempertimbangkan data demografi pasien didapatkan bahwa status ASA >2 (p=0,016; OR= 6,056; 95%CI= 1,403-26,139) dan riwayat prematuritas (p=0,011; OR= 7,730; 95%CI= 1,607-37,193) secara signifikan berpengaruh terhadap luaran mortalitas pasien.<span class="Apple-converted-space"> </span></p> <p class="p1"><strong>Kesimpulan</strong>: kejadian <em>severe critical event </em>laringospasme, henti jantung dan desaturasi berpengaruh terhadap terjadinya mortalitas pada pasien pediatrik yang menjalani pembiusan di RSUP Dr. Sardjito.<span class="Apple-converted-space"> </span></p>2024-11-26T14:13:10+07:00Copyright (c) 2024 Annika Napitu, Yunita Widyastuti, Djayanti Sarihttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/15898CORRELATION STUDY OF SERUM VITAMIN D LEVELS WITH IN-HOSPITAL MORTALITY IN SEPTIC SHOCK PATIENTS2024-11-26T14:13:36+07:00Novierta Prima Kusumandaru aankusumandaru@gmail.comCalcarina Fitriani R Waankusumandaru@gmail.comJuni Kurniawatyaankusumandaru@gmail.com<p><strong>Latar Belakang: </strong>Sepsis adalah keadaan darurat medis yang melibatkan respons imunologis sistem tubuh terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan disfungsi organ dan kematian. Syok sepsis, sebagai bentuk parah dari sepsis, memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Vitamin D diketahui memiliki peran penting dalam modulasi imun dan inflamasi, yang dapat mempengaruhi hasil klinis pada pasien sepsis.</p> <p> </p> <p><strong>Tujuan: </strong>Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi korelasi antara kadar serum vitamin D dengan mortalitas pada pasien syok sepsis di RSUP Dr. Sardjito.</p> <p> </p> <p><strong>Metode: </strong>Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang melibatkan 22 pasien syok sepsis. Kadar vitamin D serum diukur saat pasien masuk ICU, dan mortalitas dicatat selama 28 hari. Skor SAPS-3 digunakan untuk menilai keparahan penyakit. Analisis statistik dilakukan untuk menentukan hubungan antara kadar vitamin D, skor SAPS-3, dan mortalitas.</p> <p> </p> <p><strong>Hasil: </strong>Dari 22 pasien, 15 pasien (68,18%) memiliki kadar vitamin D normal-insufisiensi, sementara 7 pasien (31,82%) mengalami defisiensi ringan-berat. Mortalitas tercatat sebesar 27,27% (6 pasien). Analisis menunjukkan bahwa pasien dengan defisiensi vitamin D memiliki odds ratio (OR) sebesar 8,6667 untuk mortalitas dibandingkan dengan pasien dengan kadar vitamin D normal-insufisiensi (p= 0.026; 95% CI: 1,0495 hingga 71,5719). Selain itu, terdapat korelasi negatif yang signifikan antara kadar vitamin D dan skor SAPS-3 (p= 0.0001; OR=7,1111; 95% CI: 1,0888 hingga 46,4425).</p> <p> </p> <p><strong>Kesimpulan: </strong>Penelitian ini menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D berkorelasi dengan peningkatan risiko mortalitas pada pasien syok sepsis.</p>2024-11-26T14:13:36+07:00Copyright (c) 2024 Novierta Prima Kusumandaru , Calcarina Fitriani R W, Juni Kurniawatyhttps://journal.ugm.ac.id/v3/jka/article/view/15961THE RELATIONSHIP OF LACTATE-ALBUMIN RATIO TO MORTALITY AND LENGTH OF STAY IN SEPSIS PATIENTS AT ICU DR. SARDJITO GENERAL HOSPITAL2024-11-26T14:13:55+07:00Desti Pasmawatidesti2304@gmail.comCalcarina Fitriani Retno Wisudartiwisudarti@yahoo.comBowo Adiyantobowo_adiyantodr@yahoo.com<p style="font-weight: 400;"><strong>Background : </strong>Sepsis is one of the causes of morbidity and mortality patients hospitalized in the intensive care unit (ICU) which requires early detection and management to predict outcomes. An increase in lactate together with decrease in albumin is encountered in severe inflammatory states. Lactate-albumin ratio has a predictive value of mortality in patient with sepsis that is similar to APACHE II and SOFA scores. These biomarkers can be done quickly, affordable, and available in many hospitals in Indonesia.</p> <p style="font-weight: 400;"><strong>Objective : </strong>To determine the relationship between the lactate-albumin ratio and mortality and length of stay patient with sepsis in ICU of Dr. Sardjito Hospital.</p> <p style="font-weight: 400;"><strong>Method : </strong>Research design using a retrospective cohort observational study method by collecting data from the medical records of sepsis patients treated at ICU of Dr. Sardjito Hospital. Data on lactate and albumin in plasma levels at admission and mortality events were collected to calculate the optimal cutoff using the ROC curve. The relationship between lactate-albumin ratio levels and mortality was analyzed using the chi-square test method followed by logistic regression in multivariate analysis.</p> <p style="font-weight: 400;"><strong>Results : </strong>The total study subjects were 136 patients, wuth a median age of 55 years. The cut-off value for the Lactate-Albumin ratio in predicting mortality was found to be 0,878, with a sensitivity of 73.0 % and a specificity of 57.1% (AUC = 0,687; 95% CI 0,56-0,81; p=0,007). The cut-off value for the Lactate-Albumin ratio in predicting ICU length of stay was found to be 0,878, sensitivity 71,2% and specificity 63,6% (AUC = 0,684; 95% CI 0,53-0,84; p=0,043). Multivariate analysis showed that an increase in the Lactate-Albumin ratio was an independent and significant factor as a predictor of mortality (OR=3,43; 95% CI 1,29-9,16; p=0,013) and ICU length of stay (OR=4,33; 95% CI 1,19-15,68; p=0,036). Age, sex, hypertension, diabetes mellitus, cancer, obesity, and cerebrovascular disease were not independently associated with mortality dan ICU length of stay.</p> <p style="font-weight: 400;"><strong>Conclusion : </strong>An increase in the Lactate-Albumin ratio is independently and significantly associated with an increased risk of mortality and length of stay in sepsis patients.</p>2024-11-26T14:13:54+07:00Copyright (c) 2024 Desti Pasmawati, Calcarina Fitriani Retno Wisudarti, Bowo Adiyanto