Tenaga Kerja Kesehatan dalam Usaha Penurunan MDG4 dan MDG5: Sebuah Potret dan Harapan Aksi Segera
Laksono Trisnantoro(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Di berbagai provinsi di Jawa dilaporkan angka
kematian ibu stagnan bahkan ada yang memburuk
dalam waktu empat tahun terakhir ini. Di provinsi
Indonesia timur, kematian bayi dilaporkan memburuk
sejak tahun 2000 ketika desentralisasi kesehatan
dijalankan. Mengapa hal ini terjadi? Apa saja faktorfaktor
yang mempengaruhinya?
Dalam tajuk ini, secara khusus dibahas
mengenai peranan tenaga kesehatan saat ini untuk
usaha penurunan MDG4 dan MDG5. Potret situasi
tenaga kesehatan saat ini adalah jumlah kurang,
distribusi tidak merata, kerja sama antar profesi
kurang, dan kompensasi yang tidak sesuai
harapan. Kekurangan tenaga kesehatan terjadi di
daerah maju seperti Jawa dan tentunya di daerah
sulit seperti Papua ataupun Nusa Tenggara Timur
(NTT). Di Jawa masih terjadi kekurangan dokter
spesialis obsgin, anastesi, serta anak di berbagai
kabupaten. Di daerah sulit seperti NTT dan Papua
terjadi kekurangan dokter spesialis, dokter, bidan,
dan perawat yang sangat besar. Kesenjangan
Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di 32
Kabupaten/Kota sangat mencolok. Di DKI Jakarta
ada sekitar 450-an dokter anak sementara di
Bengkulu kurang dari 10. Di Jakarta lebih dari 150
tenaga spesialis anastesi bekerja, sementara di NTT
tidak ada satupun spesialis yang bekerja penuh
waktu.
Dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak,
terlihat bahwa kerja sama antar profesi kurang.
Kesehatan ibu dan anak seolah identik dengan bidan
dan dokter spesialis. Peranan dokter umum mengecil
dalam dekade ini. Dokter umum menjadi profesi
yang kurang terlatih dalam pelayanan kesehatan ibu
dan anak. Kurikulum pendidikan dokter cenderung
menempatkan dokter umum sebagai penonton dalam
emergensi kebidanan. Sementara itu, jumlah
spesialis obsgin sangat kurang. Sayangnya
perhimpunan spesialis dan kolegiumnya terkesan
tidak bersedia memberikan keahliannya ke dokter
umum di daerah yang tidak ada atau kekurangan
spesialis obsgin. Keadaan SDM ini diperparah
dengan sistem kompensasi yang tidak menarik untuk
melakukan pelayanan kesehatan ibu dan anak
khususnya yang melalui program jaminan
kesehatan.
Mengingat momen pencapaian target MDG4 dan
MDG5 di tahun 2015 sudah dekat, walaupun sudah
agak terlambat, faktor SDM perlu diangkat sebagai
isu strategis. Tanpa SDM yang baik maka upaya
mengurangi kematian ibu dan anak tidak akan
tercapai di tahun 2015, termasuk upaya mengurangi
gap antara provinsi timur dan barat.
Dalam hal SDM, ada beberapa isu stretegis yang
perlu dibahas. Isu strategis pertama adalah perlunya
tenaga kerja kesehatan bekerja bersama
menggunakan prinsip pencegahan primer sampai
sekunder/tertier dengan menggunakan pendekatan
perjalanan alamiah penyakit. Analisis kebijakan
menunjukkan bahwa kebijakan nasional tentang
kesehatan ibu dan anak banyak berada di masyarakat
dan puskesmas. Seiring dengan situasi ini, kebijakan
nasional tentang tenaga kerja di MDG 4 dan MDG 5
banyak membahas bidan, jarang untuk dokter dan
spesialis. Di samping itu, ada kecenderungan
kebijakan kesehatan ibu dan anak tidak membahas
pelayanan kuratif. Dalam penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan terlihat ada pemisahan
kegiatan antara pelayanan primer dengan sekunder
dan tertier. Akibatnya rumah sakit dan tenaga kerjanya
dalam kondisi terabaikan dalam MDG4 dan MDG5,
padahal saat ini di Jawa kematian ibu banyak terjadi
di rumah sakit. Aksi strategis yang diperlukan dalam
isu ini adalah: (1) Meningkatkan pemahaman tentang
perlunya kerja sama pelayanan primer sampai
sekunder-tertier; dan (2) Meningkatkan jumlah dan
kerja sama antar profesi dalam MDG4 dan MDG5.
Dalam konteks aksi strategis ini patut dicatat
bahwa Kemenkes melakukan penggabungan
pembinaan pelayanan kesehatan primer dan
sekunder-tertier. Ada dua Ditjen dengan nama dan
tugas baru yaitu Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan
Ditjen Bina Gizi dan KIA. Bersama dua Ditjen baru
ini diharapkan koordinasi pelayanan primer dengan
sekunder/tertier menjadi lebih baik di pelayanan
kesehatan ibu dan anak.
Isu strategis kedua adalah perlunya inovasi
dalam menambah jumlah dokter spesialis dan
kemampuan tenaga kesehatan di berbagai tempat.
Sebagai gambaran saat ini mutu sistem rujukan
masih buruk. Di daerah sulit, PONED dan PONEK
24 jam sulit berjalan karena kekurangan SDM.
Di banyak kabupaten di Jawa, pelaksanaan
PONEK sulit 24 jam karena terbatasnya jumlah SDM
dan sistem manajemen tidak memungkinkan. Apa
innovasi strategisnya? (1) perlu dilakukan inovasi
menambah jumlah tenaga melalui sistem kontrak
seperti yang dilakukan Program Sister Hospital NTT;
(2) perlu mendayagunakan residen. Residen saat ini
dapat dikembangkan sebagai tenaga yang tidak
hanya belajar tetapi juga bekerja. Residen dalam
proses pendidikannya ditempatkan di RS yang
kekurangan tenaga dan dibayar sesuai
kompetensinya; (3) perlu melakukan Task-Shifting.
Definisi Task-Shifting menurut WHO adalah: Task
shifting involves the rational redistribution of tasks
among health workforce teams. Specific tasks are
moved, where appropriate, from highly qualified
health workers to health workers with shorter training
and fewer qualifications in order to make more
efficient use of the available human resources for
health. Melalui adanya Task-Shifting ini kebutuhan
tenaga kesehatan secara sementara dapat diatasi,
namun perlu pendidikan tenaga kesehatan yang
sebenarnya; (4) perlu melakukan kontrak tenaga di
pelayanan kesehatan primer. Saat ini memang sudah
ada kontrak tenaga (dokter, bidan), namun kontrak
bersifat perorangan yang kurang efektif. Di daerah
sulit tenaga kontrak perorangan cenderung
berkumpul di kota kabupaten. Kontrak perlu
dilakukan secara kelompok dan menjamin aspek
keamanan serta logistik. Inovasi ini membutuhkan
kemitraan antara pemerintah dan swasta. Lembaga
Swadaya Masyakarat sebaiknya ada yang bisa
menjadi kontraktor untuk menyediakan tenaga
secara kelompok (dokter, bidan, perawat,
epidemiolog, dan lain-lain).
Isu strategis ketiga adalah memperhatikan
insentif bagi tenaga kesehatan. Sebagaimana
diketahui tenaga kesehatan sebagai makhluk
ekonomi mempunyai kepuasan hidup yang diukur
dengan: (1) tingkat pendapatan yang terdiri dari: gaji
dan insentif dari praktik; serta (2) waktu yang dapat
dipakai untuk rekreasi. Saat ini penetapan insentif
tenaga kesehatan masih berdasarkan asumsi.
Pemerintah belum pernah melakukan negosiasi
dengan ikatan profesi. Sementara itu, ikatan profesi
masih belum mempunyai standar pendapatan dan
insentif bagi anggotanya yang wajar. Sebagai
gambaran penetapan insentif dalam Jampersal,
ditolak oleh sebagian bidan karena tidak sesuai
dengan harapan. Insentif dokter dalam sistem
kapitasi puskesmas juga dirasakan sangat kurang
oleh para dokter.
Sebagai penutup dapat ditegaskan bahwa target
MDG 4 dan MDG 5 di tahun 2015 sulit tercapai tanpa
inovasi dalam kebijakan tenaga kerja kesehatan.
Dalam hal ini perlu ada keberanian untuk melakukan
aksi yang bertujuan mengurangi kematian ibu dan
anak dengan memperhatikan isu-isu strategis.
Laksono Trisnantoro (trisnantoro@ yahoo.com)
kematian ibu stagnan bahkan ada yang memburuk
dalam waktu empat tahun terakhir ini. Di provinsi
Indonesia timur, kematian bayi dilaporkan memburuk
sejak tahun 2000 ketika desentralisasi kesehatan
dijalankan. Mengapa hal ini terjadi? Apa saja faktorfaktor
yang mempengaruhinya?
Dalam tajuk ini, secara khusus dibahas
mengenai peranan tenaga kesehatan saat ini untuk
usaha penurunan MDG4 dan MDG5. Potret situasi
tenaga kesehatan saat ini adalah jumlah kurang,
distribusi tidak merata, kerja sama antar profesi
kurang, dan kompensasi yang tidak sesuai
harapan. Kekurangan tenaga kesehatan terjadi di
daerah maju seperti Jawa dan tentunya di daerah
sulit seperti Papua ataupun Nusa Tenggara Timur
(NTT). Di Jawa masih terjadi kekurangan dokter
spesialis obsgin, anastesi, serta anak di berbagai
kabupaten. Di daerah sulit seperti NTT dan Papua
terjadi kekurangan dokter spesialis, dokter, bidan,
dan perawat yang sangat besar. Kesenjangan
Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di 32
Kabupaten/Kota sangat mencolok. Di DKI Jakarta
ada sekitar 450-an dokter anak sementara di
Bengkulu kurang dari 10. Di Jakarta lebih dari 150
tenaga spesialis anastesi bekerja, sementara di NTT
tidak ada satupun spesialis yang bekerja penuh
waktu.
Dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak,
terlihat bahwa kerja sama antar profesi kurang.
Kesehatan ibu dan anak seolah identik dengan bidan
dan dokter spesialis. Peranan dokter umum mengecil
dalam dekade ini. Dokter umum menjadi profesi
yang kurang terlatih dalam pelayanan kesehatan ibu
dan anak. Kurikulum pendidikan dokter cenderung
menempatkan dokter umum sebagai penonton dalam
emergensi kebidanan. Sementara itu, jumlah
spesialis obsgin sangat kurang. Sayangnya
perhimpunan spesialis dan kolegiumnya terkesan
tidak bersedia memberikan keahliannya ke dokter
umum di daerah yang tidak ada atau kekurangan
spesialis obsgin. Keadaan SDM ini diperparah
dengan sistem kompensasi yang tidak menarik untuk
melakukan pelayanan kesehatan ibu dan anak
khususnya yang melalui program jaminan
kesehatan.
Mengingat momen pencapaian target MDG4 dan
MDG5 di tahun 2015 sudah dekat, walaupun sudah
agak terlambat, faktor SDM perlu diangkat sebagai
isu strategis. Tanpa SDM yang baik maka upaya
mengurangi kematian ibu dan anak tidak akan
tercapai di tahun 2015, termasuk upaya mengurangi
gap antara provinsi timur dan barat.
Dalam hal SDM, ada beberapa isu stretegis yang
perlu dibahas. Isu strategis pertama adalah perlunya
tenaga kerja kesehatan bekerja bersama
menggunakan prinsip pencegahan primer sampai
sekunder/tertier dengan menggunakan pendekatan
perjalanan alamiah penyakit. Analisis kebijakan
menunjukkan bahwa kebijakan nasional tentang
kesehatan ibu dan anak banyak berada di masyarakat
dan puskesmas. Seiring dengan situasi ini, kebijakan
nasional tentang tenaga kerja di MDG 4 dan MDG 5
banyak membahas bidan, jarang untuk dokter dan
spesialis. Di samping itu, ada kecenderungan
kebijakan kesehatan ibu dan anak tidak membahas
pelayanan kuratif. Dalam penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan terlihat ada pemisahan
kegiatan antara pelayanan primer dengan sekunder
dan tertier. Akibatnya rumah sakit dan tenaga kerjanya
dalam kondisi terabaikan dalam MDG4 dan MDG5,
padahal saat ini di Jawa kematian ibu banyak terjadi
di rumah sakit. Aksi strategis yang diperlukan dalam
isu ini adalah: (1) Meningkatkan pemahaman tentang
perlunya kerja sama pelayanan primer sampai
sekunder-tertier; dan (2) Meningkatkan jumlah dan
kerja sama antar profesi dalam MDG4 dan MDG5.
Dalam konteks aksi strategis ini patut dicatat
bahwa Kemenkes melakukan penggabungan
pembinaan pelayanan kesehatan primer dan
sekunder-tertier. Ada dua Ditjen dengan nama dan
tugas baru yaitu Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan
Ditjen Bina Gizi dan KIA. Bersama dua Ditjen baru
ini diharapkan koordinasi pelayanan primer dengan
sekunder/tertier menjadi lebih baik di pelayanan
kesehatan ibu dan anak.
Isu strategis kedua adalah perlunya inovasi
dalam menambah jumlah dokter spesialis dan
kemampuan tenaga kesehatan di berbagai tempat.
Sebagai gambaran saat ini mutu sistem rujukan
masih buruk. Di daerah sulit, PONED dan PONEK
24 jam sulit berjalan karena kekurangan SDM.
Di banyak kabupaten di Jawa, pelaksanaan
PONEK sulit 24 jam karena terbatasnya jumlah SDM
dan sistem manajemen tidak memungkinkan. Apa
innovasi strategisnya? (1) perlu dilakukan inovasi
menambah jumlah tenaga melalui sistem kontrak
seperti yang dilakukan Program Sister Hospital NTT;
(2) perlu mendayagunakan residen. Residen saat ini
dapat dikembangkan sebagai tenaga yang tidak
hanya belajar tetapi juga bekerja. Residen dalam
proses pendidikannya ditempatkan di RS yang
kekurangan tenaga dan dibayar sesuai
kompetensinya; (3) perlu melakukan Task-Shifting.
Definisi Task-Shifting menurut WHO adalah: Task
shifting involves the rational redistribution of tasks
among health workforce teams. Specific tasks are
moved, where appropriate, from highly qualified
health workers to health workers with shorter training
and fewer qualifications in order to make more
efficient use of the available human resources for
health. Melalui adanya Task-Shifting ini kebutuhan
tenaga kesehatan secara sementara dapat diatasi,
namun perlu pendidikan tenaga kesehatan yang
sebenarnya; (4) perlu melakukan kontrak tenaga di
pelayanan kesehatan primer. Saat ini memang sudah
ada kontrak tenaga (dokter, bidan), namun kontrak
bersifat perorangan yang kurang efektif. Di daerah
sulit tenaga kontrak perorangan cenderung
berkumpul di kota kabupaten. Kontrak perlu
dilakukan secara kelompok dan menjamin aspek
keamanan serta logistik. Inovasi ini membutuhkan
kemitraan antara pemerintah dan swasta. Lembaga
Swadaya Masyakarat sebaiknya ada yang bisa
menjadi kontraktor untuk menyediakan tenaga
secara kelompok (dokter, bidan, perawat,
epidemiolog, dan lain-lain).
Isu strategis ketiga adalah memperhatikan
insentif bagi tenaga kesehatan. Sebagaimana
diketahui tenaga kesehatan sebagai makhluk
ekonomi mempunyai kepuasan hidup yang diukur
dengan: (1) tingkat pendapatan yang terdiri dari: gaji
dan insentif dari praktik; serta (2) waktu yang dapat
dipakai untuk rekreasi. Saat ini penetapan insentif
tenaga kesehatan masih berdasarkan asumsi.
Pemerintah belum pernah melakukan negosiasi
dengan ikatan profesi. Sementara itu, ikatan profesi
masih belum mempunyai standar pendapatan dan
insentif bagi anggotanya yang wajar. Sebagai
gambaran penetapan insentif dalam Jampersal,
ditolak oleh sebagian bidan karena tidak sesuai
dengan harapan. Insentif dokter dalam sistem
kapitasi puskesmas juga dirasakan sangat kurang
oleh para dokter.
Sebagai penutup dapat ditegaskan bahwa target
MDG 4 dan MDG 5 di tahun 2015 sulit tercapai tanpa
inovasi dalam kebijakan tenaga kerja kesehatan.
Dalam hal ini perlu ada keberanian untuk melakukan
aksi yang bertujuan mengurangi kematian ibu dan
anak dengan memperhatikan isu-isu strategis.
Laksono Trisnantoro (trisnantoro@ yahoo.com)
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v14i02.2588
Article Metrics
Abstract views : 1942 | views : 1356Refbacks
- There are currently no refbacks.