Nasopharyngeal plasmablastic lymphoma; a rare case
Abstract
Plasmablastic lymphoma (PBL) is a rare, aggressive form of non-Hodgkin lymphoma with a poor prognosis, characterized by plasmablast-like cells that lack CD20 expression, despite their B-cell origin. The clinical and pathological features of PBL overlap with those of multiple myeloma, plasmablastic myeloma, and other lymphomas, making diagnosis challenging. This case describes a 66-year-old male diagnosed with nasopharyngeal PBL, with no underlying immunodeficiency. The patient initially presented with a rapidly growing tonsillar mass over two weeks, hoarseness, shortness of breath, and a lump near his right ear. Computed Tomography imaging revealed a bilateral nasopharyngeal mass measuring 2.9 x 5.2 x 8.8 cm, narrowing the airway by 28%, with pulmonary metastases. Endoscopic biopsy indicated medium-sized non-Hodgkin lymphoma, with immunohistochemistry positive for LCA, MUM1, and CD138 but negative for CD20, CD3, CD30, and CD56. The Ki-67 proliferation index was 30%. The final diagnosis was stage IV plasmablastic lymphoma. Human immunodeficiency virus (HIV) testing was negative, and the patient was scheduled for chemotherapy with the CHOP regimen due to ecog performance. Plasmablastic lymphoma typically affects extranodal sites, especially orofacial and mucosal regions, and is often seen in immunocompromised patients, particularly those with HIV. Diagnosis relies on histopathological examination showing plasmablasts with a high Ki-67 index and plasma cell markers like CD38, CD138, and MUM1. EBV is found in 70% of cases, and MYC gene abnormalities are common. Due to its rarity, there is no standard treatment, but more intensive chemotherapy protocols, including EPOCH and CODOX-M/IVAC, are being explored, with the addition of drugs like bortezomib and lenalidomide potentially improving outcomes.
Limfoma plasmablastik atau plasmablastic lymphoma (PBL) adalah bentuk langka dan agresif dari limfoma non-Hodgkin dengan prognosis yang buruk, yang ditandai oleh sel-sel mirip plasmablast yang tidak mengekspresikan CD20, meskipun berasal dari sel B. Ciri klinis dan patologis PBL tumpang tindih dengan multiple myeloma, plasmablastic myeloma, dan limfoma lainnya, yang membuat diagnosisnya sulit. Kasus ini menggambarkan seorang pasien pria berusia 66 tahun yang didiagnosis dengan PBL nasofaring, tanpa defisiensi imun yang mendasarinya. Pasien awalnya datang dengan pembengkakan tonsil yang berkembang secara agresif dalam dua minggu, serak, sesak napas, dan didapatkan benjolan di dekat telinga kanan. Pencitraan menunjukkan massa nasofaring bilateral yang berukuran 2,9 x 5,2 x 8,8 cm, yang menyempitkan saluran napas sebesar 28%, dengan metastasis paru. Biopsi endoskopik menunjukkan limfoma non-Hodgkin berukuran sedang, dengan imunohistokimia positif untuk LCA, MUM1, dan CD138, namun negatif untuk CD20, CD3, CD30, dan CD56. Indeks proliferasi Ki-67 adalah 30%. Diagnosis akhir adalah limfoma plasmablastik stadium IV. Hasil tes human immunodeficiency virus (HIV) negatif. Pasien kemudian dijadwalkan untuk kemoterapi dengan regimen CHOP berdasarkan performa ecog. Limfoma plasmablastic umumnya mempengaruhi area ekstranodal, terutama daerah orofasial dan mukosa, dan sering ditemukan pada pasien yang mengalami defisiensi imun, terutama yang terinfeksi HIV. Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan histopatologis yang menunjukkan limfoma non-hodgkin dengan indeks proliferasi Ki-67 yang tinggi dan penanda sel plasma seperti CD38, CD138, dan MUM1. EBV ditemukan pada 70% kasus, dan kelainan gen MYC sering terjadi. Karena kelangkaannya, belum ada pengobatan standar, namun protokol kemoterapi yang lebih intensif, termasuk EPOCH dan CODOX-M/IVAC, sedang dieksplorasi, dengan penambahan obat seperti bortezomib dan lenalidomide yang berpotensi meningkatkan luaran.



