Reorganisasi Agraria di Surakarta pada 1918 dan Akibatnya terhadap Petani dan Perusahaan Belanda
Soegijanto Padmo(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Reorganisasi Agraria yang dilaksanakan di Karesidenan Surakarta pada 1918 kecuali memberikan hak yang lebih
kuat kepada petani penggarap tetapi juga sebenarnya memberikan beban atau dengan kata lain tanggung jawab kepada perusahaan perkebunan yang milik modal Belanda untuk menyelenggarakan pengusahaan tanaman pangan bagi kepentingan masyarakat petani di wilayah kerjanya. Dalam kaitann ya dengan hal Itu, pengusaha Belanda menuntut berbagai kemudahan yang mereka pernah nikmati
pada masa diberlakukannya apanage stelsel. Dalam pelaksanaan Reorganisasi ini terkait sekurang-kurangnya tiga pihak yaitu Sunan, petani dan perusahaan perkebunan. Dalam berhubungan dengan Sunan dan petani, pengusaha Belanda lebih banyak memanfaatkan pengaruh pejabat lokal Belanda.
Satu perubahan penting dalam penguasahaan tanah yang empengaruhi pengusahaan tembakau di daerah Swapraja yang terjadi pada kurun 1917-1915, ketika itulah suatu Reorganisasi Agraria dilaksanakan yang mengakibatkan sistem apanage diakhiri yang memberikan kemudahan perusahaan perkebunan dalam memperoleh tanah pada abad 19. Sistem aparnage merupakan sistem yang unik di Daerah Swapr ja dan tak pernah diterapkan di daerah yang dlkuasai langsung oleh Kompeni di bagian lain dari putau Jawa dan Madura. Sistem ini telah memberikan perusahaan perkebunan Belanda yang bekerja di situ satu kemudahan yang sangat besar dalam bentuk penyediaan tanah dan tenaga kerja secara murah, meskipun ada beberapa kelemahan dari sistem itu sendiri.
kuat kepada petani penggarap tetapi juga sebenarnya memberikan beban atau dengan kata lain tanggung jawab kepada perusahaan perkebunan yang milik modal Belanda untuk menyelenggarakan pengusahaan tanaman pangan bagi kepentingan masyarakat petani di wilayah kerjanya. Dalam kaitann ya dengan hal Itu, pengusaha Belanda menuntut berbagai kemudahan yang mereka pernah nikmati
pada masa diberlakukannya apanage stelsel. Dalam pelaksanaan Reorganisasi ini terkait sekurang-kurangnya tiga pihak yaitu Sunan, petani dan perusahaan perkebunan. Dalam berhubungan dengan Sunan dan petani, pengusaha Belanda lebih banyak memanfaatkan pengaruh pejabat lokal Belanda.
Satu perubahan penting dalam penguasahaan tanah yang empengaruhi pengusahaan tembakau di daerah Swapraja yang terjadi pada kurun 1917-1915, ketika itulah suatu Reorganisasi Agraria dilaksanakan yang mengakibatkan sistem apanage diakhiri yang memberikan kemudahan perusahaan perkebunan dalam memperoleh tanah pada abad 19. Sistem aparnage merupakan sistem yang unik di Daerah Swapr ja dan tak pernah diterapkan di daerah yang dlkuasai langsung oleh Kompeni di bagian lain dari putau Jawa dan Madura. Sistem ini telah memberikan perusahaan perkebunan Belanda yang bekerja di situ satu kemudahan yang sangat besar dalam bentuk penyediaan tanah dan tenaga kerja secara murah, meskipun ada beberapa kelemahan dari sistem itu sendiri.
Keywords
Belanda, petani, Reorganisasi Agraria, sejarah, Sunan, Surakarta
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jh.2071
Article Metrics
Abstract views : 3307 | views : 2760Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2013 Soegijanto Padmo
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.