Perubahan Konsep Gender dalam Seni Batik Tradisional Pedalaman Dan Pesisiran

https://doi.org/10.22146/jh.753

Djoko Dwiyanto(1*), . Nugrahani(2)

(1) 
(2) 
(*) Corresponding Author

Abstract


Penciptaan karya seni, sebagai salah satu wujud hasil proses budaya, dimiliki hampir semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Secara naluriah, penciptaan karya seni itu kadang-kadang menampakkan pembedaan kewenangan antara pria dan wanita sehingga mengakibatkan pula perbedaan kepemilikan di antara mereka. Pembedaan seperti itu ternyata lebih dapat dikatakan sebagai akibat sistem sosial budaya daripada didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang (Fakih, 1997: 8). Sebagai contoh, tiang totem (totem poles) dalam komunitas Suku Asmat di Papua Barat (Irian Jaya) dianggap sebagai karya seni laki-laki sehingga wanita dianggap tabu untuk membuatnya (Layton, 1994). Lebih dari itu, wanita bahkan dilarang mengintip, apalagi melihat pembuatan tiang totem yang merupakan penggambaran nenek moyang. Secara ekstrem, dalam proses pembuatan tiang totem, bahkan berlaku larangan bagi para seniman untuk “menyentuh wanita”, sehari sebelum pembuatan (Schneebaum, 1985). Tiang totem tersebut merupakan salah satu karya seni andalan Suku Asmat, hingga sekarang pun banyak diminati oleh para kolektor dan menghiasi galeri-galeri bertaraf internasional.

Studi ini hendak mengkaji permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana konsep gender dapat diamati dalam seni batik tradisional di pedalaman dan pesisiran ? 2. Bagaimanakah perubahan konsep gender dalam seni batik tradisional pedalaman dan pesisiran dalam perjalanan waktu sampai kini ?

Full Text:

PDF



DOI: https://doi.org/10.22146/jh.753

Article Metrics

Abstract views : 1853 | views : 1929

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2012 Djoko Dwiyanto, . Nugrahani

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.