Revitalisasi Dialektika Pliralitas Budaya Global Dalam Persepkif Poskolonial
Kasiyan Kasiyan(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Mendiskusikan perihal entitas kebudayaan bangsa kita di saat ini, dalam kaitannya dengan wacana kebudayaan global, kiranya salah satu critical point yang mendasar adalah pada segmentasi substansi kualitas keberdayaan dan keadilan dialektikanya dengan kebudayaan asing (Barat), yang selama ini begitu dirasakan timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah orientasi pengembangan kebudayaan nasional, akhirnya jatuh pada komitmen untuk membuka diri, dengan mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global, sebagaimana dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana pada dekade 30- an, dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional.
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia, demi kemungkinan kebudayaan kita mampu meng-"ada" secara bersama (being together) dalam format equal plurality yang sebenarbenarnya di antara semua bangsa, agar tercapai derajat kemanusiaan dan peradaban universal, ternyata tidak dapat termanifestasikan secara komprehensif. Betapa kita menyaksikan secara konkrit, bahwasanya selama ini telah terjadi paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya dengan kebudayaan Barat, dalam semua sistem menimbulkan keprihatinan di mana-mana.
Dalam hal ini, kaukus problematikanya di antaranya lebih disebabkan: pertama, sikap kita dalam memaknai eksistensi kebudayaan diri yang perlu direvitalisasi; dan kedua, sikap Barat yang telah demikian memaksakan dan melegitimasi posisi dirinya sebagai ordinat hegemoni bagi semesta kebudayaan dunia, yang dalam hal ini maknanya secara substansial, sebenarnya adalah tetap sebagai potret dari riwayat penjajahan baru, di era pos kolonial. Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut, makalah ini mencoba mengambil posisi.
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia, demi kemungkinan kebudayaan kita mampu meng-"ada" secara bersama (being together) dalam format equal plurality yang sebenarbenarnya di antara semua bangsa, agar tercapai derajat kemanusiaan dan peradaban universal, ternyata tidak dapat termanifestasikan secara komprehensif. Betapa kita menyaksikan secara konkrit, bahwasanya selama ini telah terjadi paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya dengan kebudayaan Barat, dalam semua sistem menimbulkan keprihatinan di mana-mana.
Dalam hal ini, kaukus problematikanya di antaranya lebih disebabkan: pertama, sikap kita dalam memaknai eksistensi kebudayaan diri yang perlu direvitalisasi; dan kedua, sikap Barat yang telah demikian memaksakan dan melegitimasi posisi dirinya sebagai ordinat hegemoni bagi semesta kebudayaan dunia, yang dalam hal ini maknanya secara substansial, sebenarnya adalah tetap sebagai potret dari riwayat penjajahan baru, di era pos kolonial. Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut, makalah ini mencoba mengambil posisi.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jh.776
Article Metrics
Abstract views : 1734 | views : 2285Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2012 Kasiyan Kasiyan
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.