Ikan Tunggal Bernama FÂDHIL Karya Syaikh Hamzah Fansuri: Analisis Semiotik

https://doi.org/10.22146/jh.787

. Sangidu(1*)

(1) 
(*) Corresponding Author

Abstract


Hamzah Fansuri meninggalkan sejumlah tulisan berbentuk prosa dan puisi atau syair dalam bahasa Melayu. Sejumlah tulisannya yang berbentuk syair telah diterbitkan oleh Doorenbos pada tahun 1933 (Baroroh-Baried, 1987:1-2). Semua syair yang secara otentik telah terbukti sebagai tulisan Hamzah Fansuri telah diterbitkan oleh Drewes dan Brakel dalam bukunya yang berjudul The Poems of Hamzah Fansuri. Syair itu telah diterbitkannya dalam bentuk suntingan berjumlah tiga puluh dua judul dan empat judul diantaranya diberi syarah. Keempat judul yang diberi syarah itu adalah Subchânal-Lâh Terlalu Kâmil, Allah Maujud Terlalu Bâqî, Sidang Fakir Empunya Kata, dan Ikan Tunggal Bernama Fâdhil. Tiga puluh dua judul syair karangan Hamzah yang telah dikemukakan di atas disebut Rubâ`î Hamzah Fansuri (Drewes dan Brakel, 1986:42-143), sedangkan syarah Syamsuddin terhadap empat judul syair Hamzah Fansuri disebut Syarah Rubâ`î Hamzah Fansuri (Drewes dan Brakel, 1986:194-225).

Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul Ikan Tunggal Bernama Fâdhil menurut Syarah Rubâ`î berisi hubungan antara manusia dengan Allah Ta`ala. Manusia di dalam kerangka tasawuf diibaratkan seperti seekor ikan yang berenang di lautan yang amat luas, tidak bertepi, dan tidak berujung. Sementara itu, Allah Ta`ala diibaratkan seperti air laut yang sangat luas dan dalam. Keluasan dan kedalaman air laut tidak dapat dilukiskan dengan akal pikiran, seperti halnya keluasan dan kedalaman ilmu dan Dzât-Nya. Namun demikian, seorang hamba Allah yang banyak mempunyai keutamaan-keutamaan, ia dapat sampai, bertemu, dan pada akhirnya dapat merasa bersatu dengan Allah Ta`ala (Wachdatul-Wujûd). Seorang hamba yang dapat merasa bersatu dengan Allah Ta`ala adalah seseorang yang telah dapat menjalankan fanâ’ fil-Lâh, yaitu hancurnya batas-batas individual diri seseorang dalam menyatu dengan Allah Ta`ala. Apabila seorang hamba Allah telah melakukan perjalanan menuju sumber, yaitu Allah Ta`ala, maka ia harus melenyapkan kejahilan dan menggantinya dengan kebaikan. Dalam keadaan seperti ini, seorang hamba mengatakan dan mengiktikadkan innî anal-Lâh yang artinya sesungguhnya aku adalah Allah.

Full Text:

PDF



DOI: https://doi.org/10.22146/jh.787

Article Metrics

Abstract views : 1020 | views : 4562

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2012 . Sangidu

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.