Policy in practice: mengakhiri polemik puskesmas 24 jam dengan mereplikasi dan mengembangkan program Sistem Jemput Bola Brigade Siaga Bencana (SIJEMPOL BSB) dalam sistem pelayanan kesehatan Indonesia
Abstract
Objective : Artikel ini mengeksplorasi dampak besar implementasi SIJEMPOL BSB sebagai kebijakan inovatif dalam menurunkan kasus Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Bantaeng serta kemungkinan program ini direplikasi dan dikembangkan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Content : SIJEMPOL BSB (Sistem Jemput Bola Brigade Siaga Bencana) merupakan sebuah inovasi program pelayanan kesehatan yang tercantum dalam Keputusan Bupati Bantaeng Nomor: No.430/595/XII/2009 tentang Pembentukan Tim Emergency Service. Program ini menjawab permasalahan sulitnya akses masyarakat desa dan pelosok terhadap pelayanan kesehatan karena topografi daerah yang bergunung-gunung dan berbukit sehingga seringkali menyebabkan keterlambatan penanganan terutama bagi ibu yang membutuhkan bantuan persalinan. Setidaknya pada 2013-2016, SIJEMPOL BSB berhasil menihilkan kasus AKI dan AKB di Kabupaten Bantaeng.
Layanan SIJEMPOL BSB ini bisa diakses oleh masyarakat secara gratis selama 24 jam dengan menghubungi call center 119. Satgas BSB akan tiba di lokasi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan dalam durasi 10-15 menit setelah laporan masuk. Hingga tahun 2017 Kabupaten Bantaeng memiliki 5 posko BSB dengan 20 dokter umum, 49 perawat dan 12 unit ambulance yang memiliki fasilitas medis cukup lengkap. BSB juga melakukan tindakan triase pra rujukan dimana penyakit pasien dengan kategori “ringan” cukup diobservasi di rumah dan difollow up oleh puskesmas terdekat. Sementara itu penyakit pasien yang masuk kategori “sedang” langsung ditangani di puskesmas rawat inap atau ruang observasi BSB sedangkan yang masuk kategori “berat” langsung dirujuk ke RSUD.
Belajar dari keberhasilan program ini di Kabupaten Bantaeng, tidak berlebihan jika mengatakan program ini layak untuk dicoba direplikasi dan dikembangkan dalam sistem pelayanan kesehatan Indonesia. Sekaligus juga mengakhiri polemik tarik ulur keberadaan Puskesmas 24 Jam yang selama ini dianggap tidak efektif dan efisien. Puskesmas 24 Jam yang bersifat pasif karena hanya “menunggu” pasien bisa saja digantikan oleh sebuah model layanan kesehatan yang lebih progresif.