Copyediting & Production Stages | Volume 2, Nomor 2, 2024

The articles served on this page have been all reviewed properly according to the Arnawa standards and policies and are accepted to be published in the upcoming issues. However, the articles have no particular publication date yet, until they are officially published on the website in a complete issue or volume.

===

Genealogi Temuan Naskah Naskah Kuno Keislaman di Gunung Kawi Malang
Fatkur Rohman Nur Awalin

Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia

Mount Kawi in Malang continues to be recognized as a site imbued with an enduring sense of enchantment. Interestingly, ancient manuscripts linked to Islamic teachings have also been discovered in this region, particularly as part of the private collection of Mr. Anut Ekowiyono. These manuscripts, predominantly inscribed in Pegon Arabic script, serve as a focal point for this study, which investigates their genealogy and historical significance. The manuscripts, according to Mr. Anut Ekowiyono, were inherited from his great-grandfather, who hailed from Bangil (Pasuruan), Ponorogo, and Gunung Kawi itself. This lineage highlights the connection between the manuscripts and the broader historical and cultural networks of Java. The presence of these manuscripts at Gunung Kawi provides valuable evidence of the Islamisation process led by Javanese scholars in this region, suggesting that Gunung Kawi served as an important site for religious and cultural transformation. Culturally, Gunung Kawi has long been significant, functioning as a boundary and a point of cultural continuity. During the ancient Javanese period, it marked the division between the land of Kāḍiri and Tumapel in the 12th century—a time dominated by Hindu-Buddhist kingdoms such as Singosari and Majapahit. In the Islamic colonial era, the site maintained its cultural significance, delineating the boundary between Islamic Mataram and Arek culture. This layered history underscores Gunung Kawi’s role as a dynamic cultural and religious frontier throughout Javanese history.
Keywords: Gunung Kawi Malang, Javanese Manuscripts, Pegon Manuscripts, Islamic Ancient Manuscripts, Anut Ekowiyono

Gunung Kawi di Malang hingga saat ini masih dikenal dengan citranya sebagai tempat pesugihan. Namun, di sisi lain ditemukan pula naskah-naskah kuno yang berkorelasi dengan ajaran Islam. Temuan naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang merupakan koleksi pribadi Bapak Anut Ekowiyono. Mayoritas naskah-naskah kuno ditulis menggunakan aksara Arab pegon. Kajian ini mengkaji genealogi temuan naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang yang dimiliki pribadi oleh Bapak Anut Ekowiyono. Hasilnya naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang yang dimiliki pribadi oleh Bapak Anut Ekowiyono merupakan warisan turun temuran dari kakek buyutnya. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Anut Ekowiyono kakek buyutnya berasal dari Bangil (Pasuruan), Ponorogo dan dari Gunung Kawi Malang sendiri. Keberadaan naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang bukti sahih bahwa terdapat proses Islamisasi oleh ulama Jawa di Gunung Kawi Malang. Secara kebudayaan pada masa Jawa kuno Gunung Kawi Malang batas kultural dan sebagai kontinuitas budaya antara bumi Kadhiri (kāḍiri) dan bumi Tumapel pada abad ke 12 (masa Hindu-Buddha) terutama Singosari sampai Majapahit. Pada jaman Islam-kolonial menjadi batas kultural antara Mataram Islam dan kebudayaan Arek.
Kata kunci: Gunung Kawi Malang, Manuskrip Jawa, Naskah Pegon, Naskah Kuno Keislaman, Anut Ekowiyono

===

Analisis Nilai Kenusantaraan dan Self Improvement dalam Pakêliran Wayang Gêdhog Gaya Surakarta
Muhammad Thoriq Akbar Farizky, Septiana Dian Pangesti, Shinta Miswatul Afiva

Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Wayang gêdhog is one of the mediums of Panji Stories in the form of wayang kulit with rare performances that are thick with Nusantara archipelago nuances. This study aims to determine the values in the Surakarta style of wayang gêdhog performance after its revitalization in 2014 as a representation of its preservation as a solace for society and the nation. This research is qualitative descriptive research with a social psychology approach. Theory in social psychology is used to analyze values, both from an Nusantara archipelago perspective and self-improvement in the Surakarta style of wayang gêdhog performance. This research shows the results of the contents of Nusantara archipelago values and self-improvement that are relevant for the younger generation in their daily lives as individuals and the life of their nation during post-Covid-19 recovery. The conclusion that can be known is that wayang gêdhog has Nusantara archipelagic values which teach peace and harmony in the Nusantara archipelago, inter-tribal cooperation, unity in diversity, equal rights or equality, active free views, fertility as a balance of nature, and purification towards sacredness. Meanwhile, the value of self-improvement invites one to develop through lateral thinking, self-potential development, remaining productive while recovering, self-motivation through history, the importance of focusing on process rather than results, as well as non-linear habits and professionalism.
Keywords: wayang gêdhog, values, Nusantara archipelago, self-improvement

Wayang gêdhog adalah salah satu medium Cerita Panji berbentuk wayang kulit  dengan pementasan langka yang kental dengan nuansa kenusantaraan. Penelitian  ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai dalam pagelaran wayang gêdhog gaya  Surakarta pasca revitalisasinya di tahun 2014 sebagai representasi pelestariannya  sebagai pelipur lara bagi masyarakat dan bangsa. Penelitian ini berjenis penelitian  deskriptif kualitatif dengan pendekatan psikologi sosial. Teori dalam psikologi  sosial dipakai untuk menganalisis nilai-nilai, baik dari sisi kenusantaraan maupun  self improvement dalam pagelaran wayang gêdhog gaya Surakarta. Penelitian ini  memperlihatkan hasil kandungan-kandungan nilai kenusantaraan dan self  improvement yang relevan bagi generasi muda dalam kehidupan keseharian sebagai  individu dan kehidupan berbangsanya di kala pemulihan pasca Covid-19.  Kesimpulan yang dapat diketahui yakni wayang gêdhog memiliki nilai-nilai  kenusantaraan yang mengajarkan perdamaian dan kerukunan bangsa Nusantara,  kerja sama antarsuku bangsa, bhinneka tunggal ika, persamaan hak atau kesetaraan,  pandangan bebas aktif, kesuburan sebagai keseimbangan alam, serta penyucian  menuju sakralitas. Sedangkan nilai self improvement mengajak untuk  mengembangkan diri melalui berpikir lateral, pengembangan potensi diri, tetap  produktif sembari recovery, motivasi diri melalui sejarah, pentingnya fokus pada  proses dibanding hasil, serta non-linear habit dan profesionalisme. 
Kata Kunci: wayang gêdhog, nilai, kenusantaraan, self improvement

===

Penyorasi Kosa Kata Jawa Kuno dalam Bahasa Bali
Ida Bagus Made Gesram Dwi Jayana

Komunitas Sastra Dina Ne Mangkin, Indonesia

Balinese is one of the regional languages in the Indonesian archipelago. In its use, Balinese requires speakers to select words based on a complex system of linguistic levels. Over time, the Balinese language has inherited numerous words from other languages, primarily Old Javanese and Sanskrit. This study aims to examine linguistic phenomena, specifically pejoration or the process of semantic degradation, occurring in the vocabulary of Old Javanese that has been inherited into Balinese. Pejoration refers to the semantic shift of a term, wherein its meaning, initially refined or neutral, deteriorates into a coarser or less favorable connotation. The data for this research were derived from the Adiparwa text. Primary data were obtained from the Adiparwa Lontar manuscript in the collection of Griya Srama Tegallantang, Ubud, while secondary data consisted of research books, edited versions of the Adiparwa text, as well as Balinese and Old Javanese dictionaries. The results reveal that at least five words from the Adiparwa vocabulary have undergone pejoration. These words are /gawe/, /kurǝn, /mati/, /milu/, /mulih/. Analysis indicates that the causes of pejoration in the inheritance of Old Javanese into Balinese are attributed to two factors: changes in sociocultural contexts and differing interpretations among speakers of Old Javanese and Balinese regarding the usage of these words within the Balinese language.
Keywords: Semantic Shift, Pejoration, Adiparwa, Old Javanese, Balinese Language.

Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara, dalam komunikasinya bahasa Bali menuntut pengunaan untuk mengunakan kata berdasarkan sistem tingkatan bahasa yang kompleks. Seiring perjalanan waktu bahasa Bali banyak mewarisi kata-kata dari bahasa lainya, utamanya bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti terjadinya gejala linguistik berupa penyorasi atau pengasaran makna yang terjadi dalam kosa kata bahasa Jawa Kuno yang terwaris ke dalam bahasa Bali. Penyorasi merpakan proses perubahan makna sebuah ujaran, yang awalnya bersifat halus atau umum kemudian terjadi degradasi makna cenderung kasar. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber teks Adiparwa. Data primer berupa Naskah Lontar Adiparwa koleksi Griya Srama Tegallantang Ubud, dan data sekunder berupa buku-buku penelitian serta suntingan naskah Adiparwa serta kamus bahasa Bali dan bahasa Jawa kuno. Hasil yang didapat yaitu, dari kosa kata Adiparwa yang diambil, setidaknya telah terjadi proses penyorasi pada lima kata. Kelima kata tersebut yaitu /gawe/, /kurǝn, /mati/, /ilu/, /ulih/. Melalui pembahasan yang dilakukan, di dapat pula penyebab terjadinya penyorasi pada proses pewarisan bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Bali disebabkan oleh dua faktor yaitu perubahan sosial budaya dan perbedaan tanggapan dalam masyarakat penutur bahasa Jawa Kuno dan Bali, terhadap pemakaian kata tersebut dalam bahasa Bali.
Kata Kunci: Perubahan Makna, Penyorasi, Adiparwa, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Bali.

===

Dari Pemimpin Dinasti ke Ruang Politik: Nilai-Nilai Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal ‘Ida Dalem Waturenggong’ dalam Mengatasi Dinamika Pemimpin
Ni Komang Ayuk Lilis Saputri

Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Agama, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Indonesia

Dalem Waturenggong is one of the Kings in Bali who plays a very big role for the Balinese people. At the time of his leadership, Bali was said to be a golden age because of its economic, political and social stability. Dalem Waturenggong is a wise, brave, spiritual King who always cares for his people. This study aims to explore the values of local wisdom in Waturenggong to overcome the complex political dynamics as it is today. By adopting and implementing these values, people can build a more peaceful, just and prosperous political life. The method used in this study is to combine the historical method through historical relics and kuatilalif through interviews. This study adopts the values of local wisdom Dalem Waturenggong which can be used as an example for the current leadership. Leadership based on local wisdom that is strong in these noble values is still relevant in overcoming political dynamics in the current era.
Keywords: Dalem Waturenggong, local wisdom, leadership value


Dalem Waturenggong merupakah salah satu raja di Bali yang berperan sangat besar bagi masyarakat Bali. Pada saat kepemimpinannya, Bali dikatakan sebagai masa keemasan karena adanya stabilitas ekonomi, politik dan sosial. Dalem Waturenggong adalah sosok raja yang bijak, pemberani, spritualisme, dan selalu memperhatikan rakyatnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal Dalem Waturenggong untuk mengatasi dinamika politik yang kompleks seperti saat ini. Dengan mengadopsi dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, masyarakat dapat membangun kehidupan politik yang lebih damai, adil, dan sejahtera. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggabungkan metode historis melalui peninggalan-peninggalan sejarah dan kuatilalif melalui wawancara. Penelitian ini mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal Dalem Waturenggong yang dapat dijadikan contoh bagi kepemimpinan saat ini. Kepemimpinan berbasis kearifan lokal yang kental akan nilai-nilai luhur tersebut terasa masih relevan dalam mengatasi dinamika politik di era sekarang.
Kata Kunci: Dalem Waturenggong, Kearifan Lokal, Nilai-nilai kepemimpinan

===

Fungsi Semantis Preposisi dalam Bahasa Jawa
Nanda Nursa Alya

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

This study aims to explain the function of prepositions in the Javanese language. The objective of this research is to identify the semantic functions that can be fulfilled by words acting as prepositions using a typological approach. The data used in this study comes from the speech of the people in Dusun Nyamplung, Margokaton, Seyegan, Sleman, in their daily lives. The sample was taken from this area because all the residents use Javanese. The Javanese analyzed is Ngoko Javanese. Data was collected using the listening and note-taking method. The obtained data were then classified into several categories based on their semantic functions. The results show that prepositions serve various semantic functions, including as tools, direction, origin, end boundary, manner, intermediary, equivalence, allocation, occurrence, time, purpose, place, agent, patient, cause, comparison, topic, basis, reciprocity, accompaniment, estimation, and intensity.
Keywords: Preposition, Typology, Javanese Language


Penelitian ini membahas tentang fungsi semantis preposisi dalam bahasa Jawa. Tujuan penelitian ini digunakan untuk mengetahui fungsi semantis apa saja yang dapat diperankan oleh kategori preposisi menggunakan pendekatan tipologi. Data yang digunakan yaitu tuturan masyarakat yang ada di Dusun Nyamplung, Margokaton, Seyegan, Sleman dalam kehidupan sehari-hari. Sampel tersebut diperoleh dari wilayah tersebut karena keseluruhan warga menggunakan bahasa Jawa dengan intensitas tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa yang dianalisis yaitu bahasa Jawa ngoko.Data diambil menggunakan metode simak dan catat. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sesuai dengan fungsi semantis preposisinya. Hasil yang diperoleh yaitu preposisi menduduki fungsi semantis berupa alat, arah, asal, batas akhir, cara, perantara, penyamaan, peruntukan, kepenjadian, waktu, tujuan, tempat, pelaku, penderita, sebab, perbandingan, perihal, dasar, kesambilan, kesertaan, perkiraan, intensitas.
Kata Kunci: Preposisi, Tipologi, Bahasa Jawa